Minggu, 14 Desember 2014

Buruh Pemetik Kopi Makin Langka

Perempuan pemetik kopi
Mengakhiri bulan Maret ini, ditandai dengan masuknya masa panen pertama kopi arabika gayo dalam tahun 2012. Ribuan hektar tanaman kopi arabika yang terhampar di wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terlihat dipenuhi oleh biji merah. Kompasianer sempat terheran-heran, kenapa biji kopi yang sudah cukup matang itu belum juga dipetik oleh pemiliknya.

Ketika ditanyakan kepada beberapa pemilik kebun kopi itu, mereka mengaku sedang menunggu buruh pemetik kopi selesai memetik kopi di kebun orang lain. Inen Upa (47) salah seorang petani kopi di Paya Tumpi Aceh Tengah, Minggu (25/3/2012) di sela-sela aktifitasnya memetik kopi, menambahkan bahwa dengan panen yang cukup melimpah itu, mereka tidak mampu memetik sendiri. Mereka tetap membutuhkan tenaga buruh pemetik kopi.

Menurut perempuan beranak empat itu, jika dia sendiri yang memetik kopi di kebun yang luasnya satu hektar itu, dikhawatirkan buah kopi yang sudah merah itu terlanjur berguguran. Sebab, untuk memetik buah kopi yang telah merah bernas itu membutuhkan tenaga sekitar dua sampai tiga orang. Dalam minggu terakhir ini, order memetik kopi kopi terus meningkat, maka buruh pemetik kopi makin langka, ada yang lagi kosong tetapi tarif yang mereka minta tidak realistis. Biasanya, ongkos memetik kopi adalah 10% dari hasil petikannya, kini naik menjadi 20%.

Inen Upa sebagai petani yang pas-pasan, merasa belum mampu untuk membayar ongkos petik kopi dengan tarif sebesar itu. Apalagi setelah harga kopi gelondong merah turun drastis sehingga dia khawatir jika hasil panennya tidak mampu menutupi biaya produksi. Akhirnya, dia mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk gotong royong memetik kopi.

Ditempat terpisah, Win Ruhdi Aman Shafa, salah seorang pemerhati kopi dari Takengon, mengungkapkan bahwa sejumlah petani di Kabupaten Bener Meriah terpaksa mendatangkan buruh pemetik kopi dari luar daerah (pesisir Aceh). Buruh pemetik kopi itu ada juga yang didatangkan khusus dari Besitang Sumatera Utara. 

“Para petani menyiapkan bedeng khusus untuk tempat tinggal buruh pemetik kopi itu,” jelas Aman Shafa.

Langkanya buruh pemetik kopi di negeri kopi itu, lanjut Win Ruhdi, bukan hanya karena ongkos petik kopi meningkat, namun karena buruh pemetik kopi juga sedang disibukkan memetik kopi di kebunnya masing-masing. Mereka yang konsisten sebagai buruh pemetik kopi biasanya adalah pekerja serabutan. Sangat logis jika para petani yang memiliki lahan luas terpaksa mendatangkan buruh pemetik kopi dari luar daerah.

Pada saat ini, harga kopi gelondong merah Rp. 90 ribu per kaleng (ukuran 12 kg). Kemampuan rata-rata buruh pemetik kopi sebanyak 5 kaleng per hari. Jika ongkos memetik kopi 10% dari hasil pemetikan per hari, maka buruh pemetik kopi bisa mengantongi uang sebesar Rp. 45 ribu. “Sekarang ongkosnya naik sampai 20% dari hasil pemetikan, maka mereka bisa bawa pulang uang sebesar Rp.90 ribu per hari,” ungkap Win Ruhdi.

Ternyata, para petani kopi arabika gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah mampu memberi lapangan kerja kepada buruh pemetik kopi, baik dari dalam daerah maupun dari luar daerah. Sebenarnya kurang tepat jika dikatakan bahwa para petani tidak bisa memberi lapangan kerja kepada orang lain.

“Buktinya, dengan komoditi kopi para pedagang atau pengusaha cafe bisa membuka lapangan kerja, begitu juga petani menyediakan lapangan kerja bagi buruh pemetik kopi,” ungkap barista di Kantin Batas Kota, Paya Tumpi itu.

Pupuk Organik dari Limbah Cangkang Kopi

1331910146756759902
Limbah cangkang kopi digunakan sebagai pupuk
Hukum Thermodinamika II menegaskan bahwa “energi itu tidak pernah habis hanya berubah bentuk.” Alam menyediakan sumber energi yang demikian banyak, baik energi berbentuk bahan bakar, bahan makanan, termasuk pupuk sebagai bahan makanan tanaman. Salah satu sumber pupuk untuk tanaman kopi berasal dari limbah cangkang kopi (endocarp) itu sendiri.

Para petani kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang jumlahnya mencapai 62.100 kepala keluarga sudah banyak yang meninggalkan pupuk an-organik. Kini, mereka beralih menggunakan pupuk organik yang berasal dari limbah cangkang biji kopi.

Walaupun mereka menggunakan pupuk organik untuk meningkatkan produksi dan kesuburan tanaman kopinya, namun mereka tidak termasuk dalam kelompok petani organik. Sebab, mereka yang tergolong dalam kelompok tani organik jika kelompok itu dibina oleh lembaga penerbit sertifikat organik. Untuk masuk dalam kelompok itu tentu harus membayar biaya inspeksi dan lain-lain.

Bagi Ponirin (50) yang biasa dipanggil Pon, meskipun dia tidak termasuk dalam kelompok tani organik, dia tetap membudidayakan tanamannya secara organik. Petani yang memiliki sehektar kebun kopi di kawasan Desa Simpang Teritit Bener Meriah itu selalu menggunakan limbah cangkang biji kopi sebagai sumber pupuk organiknya.

Hebatnya, meskipun Ponirin tidak bisa baca tulis, tetapi dia mampu mengelola uang hasil penjualan kopi kelompok taninya sampai milyaran rupiah. Pada akhirnya, mereka mampu membangun lantai jemur dan huller milik kelompok yang terletak disamping rumah Ponirin.

Lantai jemur dan huller (mesin pemecah cangkang kopi) itu, setiap harinya menghasilkan puluhan kilogram cangkang kopi. Limbah cangkang kopi itu dibiarkan menggunung sampai mencapai atap rumah. Biasanya, limbah cangkang kopi itu dibakar oleh Ponirin. Namun, setelah mereka mengetahui bahwa kulit cangkang itu dapat digunakan sebagai pupuk organik, maka para petani yang merupakan anggota kelompoknya mengambil secara cuma-cuma limbah cangkang kopi itu.

Dapat dilihat kebun kopi para petani disekitar rumah Ponirin yang permukaan tanahnya diserak dengan limbah cangkang kopi. Ini berarti, makanan tanaman kopi disuplai dari cangkang kopi. Terbukti memang, tanaman kopi yang dipupuk dengan limbah cangkang kopi itu terlihat subur-subur dan memiliki buah yang penuh diantara dahan-dahan yang ada. Karena makin banyak yang mengambil limbah cangkang kopi untuk memupuk tanaman kopi mereka, sehingga Ponirin tidak perlu lagi membakarnya.

Sebenarnya, selain sebagai pupuk organik, limbah kulit kopi itu dapat digunakan sebagai pakan ternak. Hasil analisa laboratorium ilmu makanan ternak Departemen Peternakan FP USU (2010) menemukan bahwa kandungan gizi dalam kulit kopi meliputi (tanpa diamonisasi): bahan kering 90,52%; lemak kasar 1,31%; serat kasar 34,11%; protein kasar 6,27%; abu 7,54%; kadar air 9,48%.

Ketika hal itu saya ungkapkan kepada Ponirin, dia kelihatan bersemangat dan ingin segera memanfaatkan limbah cangkang kopi itu sebagai pakan ternaknya. Tetapi, kemudian dia jadi bingung, bagaimana cara mengolahnya. Saya juga bingung, bagaimana harus menjelaskan kepada Ponirin tentang cara mengolahnya karena bukan ahli dibidang itu.

Pastinya, saya berjanji akan mencarinya di internet. Kalau nanti sudah ketemu metode pengolahan limbah cangkang kopi menjadi pakan ternak, akan saya sampaikan kepada Ponirin. Dengan demikian, tidak semua limbah cangkang kopi harus dijadikan pupuk, sebagiannya dapat menjadi pakan ternak. Kotoran ternak yang nantinya dijadikan pupuk organik, sehingga petani dapat memperoleh tambahan penghasilan dari ternak
.
Bagi Ponirin, dia sudah cukup puas jika limbah cangkang kopi dapat dijadikan pupuk organik, sehingga bisa menghemat biaya pembelian pupuk an-organik. Tetapi dia lebih puas lagi jika limbah cangkang kopi dapat diolah menjadi pakan ternak. 

“Petani akan dapat dua keuntungan.” kata Ponirin.

Limbah Kulit Kopi Diolah Sebagai Gula Cair

Penampilan Ipak dan Dika di ISPO Ke-4 (Foto: Darmawan)
Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Mungkin pribahasa itu yang cocok diberikan kepada dua orang siswa SMAN 1 Takengon Aceh Tengah, Dika Ramadhanu dan Ipak Putri Iwanisa yang dibimbing oleh Ibu Helida Fitri S.Pd. Mereka berhasil meraih Honorable Mention (medali perunggu) dalam Indonesian Science Project Olympiad (ISPO) ke-4 Tahun 2012 di Jakarta, 21 Februari 2012 lalu.

Hal ini membuktikan bahwa walaupun mereka sekolah di sebuah SMA “ndeso” tetapi karena ada kemauan, maka mereka berhasil “berbicara” di level nasional. Mereka, anak-anak desa dari kota kecil Takengon  akhirnya mampu meraih peringkat terhormat tingkat nasional untuk sebuah hasil penelitiannya terhadap pembuatan gula cair dari limbah buah kopi.

Penelitian yang mereka lakukan diberi judul “Pemanfaatan Daging Buah Kopi Sebagai Alternatif Pengganti Gula Pasir Untuk Mengurangi Resiko Terkena Diabetes.” Menurut penuturan Darmawan Masri, salah seorang guru pembimbingnya, penelitian mereka terinspirasi dari kegemaran luwak memakan kulit merah buah kopi, kemudian mengeluarkan bijinya sebagai kotoran.

Kedua siswa itu mencoba mencicipi buah kopi yang berwarna merah dengan lidah. Hasilnya, bagian dalam dari buah kopi (disebut daging buah kopi terletak dibawah kulit ari) terasa manis. Dari hasil mencicipi buah kopi itu, sampailah mereka pada kesimpulan bahwa kadar gula yang terkandung dalam buah kopi sangat signifikan. Kemudian mereka berpikir, bagaimana mengolah limbah buah kopi yang selama ini dibuang untuk dijadikan cairan gula.

Dari hasil pengamatan Darmawan Masri disebutkan bahwa kedua siswa itu memasak air cucian daging buah kopi. Waktu yang dibutuhkan untuk memasak air cucian buah kopi itu mencapai 3 jam. Setelah itu, terpisahlah antara air dengan gula. 

“Makin lama air itu diendapkan maka rasanya makin manis,” kata Darmawan yang sudah mencicipi cairan gula kopi.

Dika Ramadhanu, Senin (5/3/2012) mengatakan bahwa dengan proses memasak air cucian 1 Kg buah kopi akan menghasilkan 150 ml gula cair. Perolehan gula cair itu telah dilakukan uji lab terhadap kadar gula buah kopi di laboratorium Universitas Sumatera Utara. Ditemukan kadar sukrosa dalam gula kopi sebanyak 4,68% sedangkan dalam gula biasa kadar sukrosanya mencapai 99,8%.

Mereka berencana akan melakukan penelitian lanjutan untuk menjadikan cairan gula tadi sebagai serbuk gula kopi yang bisa digunakan para peminum kopi dan masyarakat. Biasanya, para peminum kopi menambahkan gula pasir atau gula jagung dalam kopi mereka. 

“Ke depan, minum kopi dapat menggunakan gula kopi,” kata Darmawan Masri optimis.

Penemuan gula cair dari daging buah kopi itu sangat membanggakan para petani kopi di Aceh Tengah. Peluang usaha para petani kembali terbuka dari limbah kopi. Selama ini, para petani selalu membuang hasil cucian buah kopi, padahal hasil cucian itu mengandung gula rendah kalori. Dengan penemuan ini, disamping biji kopinya berharga tinggi, limbahnya juga bisa dijadikan sumber pendapatan.

Selain Dika Ramadhanu dan Ipak Putri Iwanisa, pihak SMAN 1 Takengon berhasil mengikutkan dua tim lagi ke tahap final ISPO 2012 di Jakarta. Tim dibidang komputer diikuti oleh Yudi Agus Pratama dan Ayuni, sedangkan tim dibidang rekayasa teknologi diikuti oleh Ulpa Herdira dan Ahmad Faisal. Namun, di ajang ISPO 2012 ini, mereka belum beruntung. 

 “Tahun depan, persiapannya akan kita maksimalkan lagi,” sebut Darmawan, guru matematika pada SMAN 1 Takengon itu.

Avocado Coffee, Rasakan Sensasinya

13298412081008006489
Avocado Coffee
Avocado atau alpukat (persea americana) merupakan buah berwarna hijau yang kaya khasiat. Kompasdotcom (2 Juli 2010) menulis bahwa alpukat meskipun kandungan lemaknya tinggi yakni sekitar 16 persen, tetapi lemaknya aman malah menyehatkan. Karena sekitar 63% unsur penyusunnya adalah asam lemak tak jenuh, terutama asam lemak tidak jenuh tunggal.


Diet alpukat yang kaya asam lemak tak jenuh ini dapat menurunkan kolesterol LDL (low density lipoprotein) yang dapat merugikan kesehatan. Lemak tidak jenuh tunggal juga mempunyai aktivitas antioksidan yang menjaga tubuh dari kerusakan arteri akibat keganasan kolesterol LDL.


Dokter Samuel Oetoro SpGK, ahli gizi dari Semanggi Spesialis Clinic dalam peringatan Hari Buah Internasional 2010 menyarankan agar orang yang menderita diabetes sangat dianjurkan untuk mengonsumsi buah alpukat. Menurutnya, kandungan omega-9 dan seratnya sangat baik untuk menjaga kadar gula darah.

Membaca penjelasan tersebut, berarti alpukat memiliki khasiat luar biasa untuk kesehatan manusia. Buah berwarna hijau ini juga memiliki rasa yang sangak maknyus, lemak dan mengenyangkan. Selama ini, orang banyak membuat alpukat sebagai minuman jus yang ditambah susu kental manis. Rasanya sudah pasti sangat enak, sebab buah alpukat yang lemak ditambah susu kental manis, bisa dibayangkan bagaimana rasanya (manis+lemak).


Sekarang, bagaimana kita mengolah jus alpukat dengan menambah varian kopi. Selama ini, varian kopi (espresso) banyak dibuat menjadi cappucino atau cafelate, es kopi atau mocchachino. Barangkali masih jarang orang yang membuat variasi jus alpukat dengan varian kopi. Rasanya bagaimana? Wow, sungguh luar biasa dan membuat orang yang mencobanya akan ketagihan.


Dua hari lalu, saya sedang menikmati secangkir espresso di coffee corner Win Ruhdi. Dari obrolan disana, terungkaplah cerita tentang cara menikmati alpukat dimasa kanak-kanak dulu. Dimasa itu, supaya rasa alpukat lebih maknyus, biasanya dicampur dengan bubuk kopi. Memang mencampur alpukat dengan bubuk kopi sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah.


Menindaklanjuti cerita tersebut, saya ingin mengulangi masa-masa indah menikmati alpukat dengan kopi. Saya memesan jus alpukat tanpa diberi gula dan susu kental manis. Jus alpukat tadi saya masukkan susu cair yang sudah dijadikan foam oleh Win Ruhdi. Kemudian, secangkir espresso tadi, saya tuangkan pelan-pelan ke dalam gelas yang telah berisi jus alpukat dan susu cair.


Sungguh fantastis, warna minuman itu menjadi sangat menarik, ada hijau, putih dan coklat kehitam-hitaman. Garis-garis warna yang berjumlah empat level terlihat jelas karena minuman ini dibuat dalam gelas bening yang transparan. Dari varian warna itu saja sudah menjadi sebuah daya tarik bagi penikmat kopi atau penggemar jus alpukat. Bagaimana rasa minuman ini? Saya katakan, sangat maknyus dan luar biasa.


Sampai akhirnya, Kantin Batas Kota di Paya Tumpi Takengon tempat Win Ruhdi membuka coffee corner menjadikan avocado coffee sebagai minum unggulan mereka. Kini, para pelanggannya banyak yang sudah beralih dari cappucino atau cafelate ke avocado coffee, salah satunya karena khasiat dari alpukat yang dapat menurunkan kolesterol LDL dan menjaga kadar gula darah.


Kalau pembaca ingin meracik sendiri, caranya sangat mudah seperti yang saya gambarkan di atas. Mungkin karena intensitas kesibukan sehingga tidak sempat meraciknya, silakan berkunjung ke coffee corner Win Ruhdi. 

Sebut saja avocado coffee kepada Win Ruhdi maka di depan anda akan tersedia segelas minuman berwarna hijau, putih dan coklat kehitam-hitaman. Rasakan sensasi avocado coffee dan selamat menikmati minuman berkhasiat bagi kesehatan itu.

Demi Kualitas, Boss Ikut Sortir Kopi

Boss Bergendhaal Koffie ikut menyortir kopi
Pandangan orang pada umumnya bahwa seorang boss selalu diimajinasikan sebagai seseorang yang berada dibelakang sebuah meja mewah. Dengan meja yang sedemikian itu, dianggap orang yang berada dibelakang meja itu memiliki wibawa. Mungkin asumsi meja mewah terkait dengan wibawa cocok ditujukan kepada pejabat politik atau birokrasi, meskipun keberadaannya dibelakang meja itu dalam posisi sebagai “buruh rakyat.”

Tempat kerja atau biasa disebut kantor, barangkali bisa berbeda antara satu profesi dengan profesi yang lain. Bagi seorang politisi dan pejabat negara (birokrasi), kantornya berada dalam sebuah gedung yang dibangun oleh negara. Sebaliknya, bagi seorang usahawan, kantornya bisa juga berada dalam sebuah gedung, namun tidak jarang berada di sebuah gudang kumuh.

Dari gudang kumuh itu proses produksi berlangsung. Kemudian, proses produksi itu memberi lapangan kerja kepada sejumlah orang. Fakta itulah yang dibuktikan oleh boss Bergendaal Koffie, sebuah perusahaan yang mengelola cafe dan industri pengolahan kopi arabika. Haji Yusrin selaku boss usaha pengolahan kopi ini tidak berkantor dalam sebuah ruang mewah dengan meja berkilau, tetapi dia memimpin perusahaannya dari sebuah meja sortasi.

Meja sortasi merupakan sebuah meja kayu ukuran 60×120 cm yang digunakan untuk menyortir biji kopi yang baru dipetik oleh para petani. Setiap pagi sampai sore hari, boss Bergendaal Koffie itu duduk dibelakang meja sortir ditemani secangkir espresso. Dengan suasana riang, dia melakukan pemisahan biji kopi yang masak sempurna dengan biji yang masih hijau atau setengah masak.

Aktivitas ini terpaksa dilakukan sendiri oleh seorang boss karena dia ingin memastikan bahan baku kopi arabika yang akan dijadikan coffee roasted nantinya, bebas cacat dan 100% sempurna. Menurut pengalamannya, dari bahan baku kopi arabika yang masak sempurna akan menghasilkan bubuk kopi yang kaya cita rasa dan aroma. Pekerjaan menyortir bahan baku sampai menghasilkan green bean tetap dilakukannya sendiri. Soalnya, jika salah menyortir akan menghasilkan coffee roasted yang cacat rasa.

Haji Yusrin, seorang pensiunan yang memiliki sepetak kebun kopi di Desa Simpang Teritit Kabupaten Bener Meriah Aceh. Seiring dengan tingginya permintaan coffee roasted, kini dia telah beralih profesi menjadi seorang peracik kopi arabika Gayo. Produknya dikenal dengan merek Bergendaal Koffie. Dengan standar cita rasa yang konsisten, produk coffee roasted menjadi bahan baku untuk Borbon Cafe di Lhokseumawe, Rully Cafe Kiliranjao Sumbar dan Coffee d’Aceh di Cimanggu Bogor.

Produk coffee roasted Haji Yusrin juga diorder oleh beberapa cafe di Langsa, Banda Aceh, Medan, Batam, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Menurut Haji Yusrin, setiap minggu dia memasok 20 Kg coffee roasted ke Kuala Lumpur. Seorang pengusaha cafe dari Jepang meminta Haji Yusrin menyediakan 6 ton coffee roasted, namun belum mampu dipenuhi karena petani belum panen. 

“Stok biji kopi green bean yang tersedia di gudang hanya sebanyak 2,5 ton,” ungkap Haji Yusrin.

Kemampuan produksi coffee roasted dari industri Haji Yusrin hanya sebanyak 50 kg per hari, karena masih tergolong industri rumah tangga. Namun omsetnya per bulan mencapai Rp.500 juta. Dengan omset yang lumayan besar ini, dia mampu menggaji beberapa orang tenaga kerja.

Pastinya, usaha coffee roasted milik Haji Yusrin telah berhasil menampung sebanyak 10 orang tenaga kerja, dan nilai jual kopi ditingkat petani secara otomatis naik. 

“Usaha ini awalnya untuk menampung produk kopi keluarga, alhamdulillah sekarang sudah mampu menampung kopi para petani di Desa ini,” jelas pelopor usaha coffee roasted di Bener Meriah dan Aceh Tengah itu.

Belajar Racik Kopi Bersama Adi Taroepratjeka

Adi Taroepratjeka mempraktekkan cara meracik kopi
Kopi adalah bahan baku minuman istimewa yang sedang ngetrend saat ini. Cafe dan warung kopi tumbuh bak jamur dimusim hujan. Para pelanggan dan peminat minuman berkafein itu terus bertambah dari hari ke hari seiring tumbuhnya sejumlah cafe. Para barista atau peracik kopi, kini menjadi sebuah profesi yang disegani.

Sungguh besar keinginan para barista pemula untuk belajar meracik kopi dari barista top, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri. Mengikuti coffee course di pusat pelatihan barista tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mengundang barista top berkunjung ke daerah, belum tentu mereka bersedia hadir.

Tersebutlah Win Ruhdi, seorang petani Aceh Tengah yang mulai melangkah maju menjadi seorang barista dan coffee roaster. Dia yang sudah pernah mengikuti coffee course awal 2011 lalu merasa masih memiliki banyak kekurangan dalam meracik aneka minuman berbahan baku kopi. Sebagai barista pemula, dia sangat berkeinginan untuk menambah pengetahuan dibidang racik meracik kopi.

Kepada saya di coffee corner-nya, Win Ruhdi selalu mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan kursus barista. Saya hanya bisa memberinya semangat, dengan harapan jika sudah terkumpul dana yang cukup, tentu cita-citanya bisa diwujudkan. Ketika sedang mendiskusikan hal itu, hari Jumat beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba masuk lima orang pria dan satu wanita ke coffee corner milik Win Ruhdi.

Salah seorang pria yang berkulit putih bersih, dengan kumis yang menyatu dengan jenggot melirik mesin espresso kecil milik Win Ruhdi. Dia memperkenalkan diri sebagai Adi Taroepratjeka dari Kompas TV. Dia minta izin untuk melihat mesin espresso itu, serta mencoba membuat sendiri secangkir espresso.

Kami yang sedang menikmati secangkir espresso terkagum-kagum melihat Adi Taroepratjeka mengoperasionalkan mesin espresso itu. Kedua tangannya sangat terampil mengisi bubuk kopi dalam wadah pembuat espresso. Cara memegang dan mengelap cangkir terlihat sangat terlatih, benar-benar seperti seorang barista profesional. Tidak terdapat kesan canggung sedikitpun.

Semua terheran-heran, siapa gerangan pria bernama Adi Taroepratjeka itu? Saya mencoba menikmati secangkir espresso hasil racikannya, wow…sungguh berbeda rasa dan aromanya dibanding buatan Win Ruhdi. Saya bertanya, apa sebenarnya pekerjaan yang bersangkutan. 

Adi Taroepratjeka menyebutkan bahwa dia adalah pemandu acara Coffee Story di Kompas TV. Saya baru ingat, dia itu salah seorang barista yang mengantongi lisensi coffee tester internasional.

Bangganya bukan main karena bisa menikmati secangkir espresso hasil racikan seorang pemandu acara pada Kompas TV. Saya menanyakan, kenapa rasa espresso hasil racikannya lebih “nendang” dibandingkan yang diracik Win Ruhdi. Menurut Adi Taroepratjeka, selama ini Win Ruhdi menyetel mesin grinder (penggiling coffee roasted) pada level 3 sehingga bubuknya terlalu kasar.

Seharusnya saat menggrinder kopi, disetel pada level 1 sehingga bubuknya lebih halus sedikit. Memang, bubuk yang lebih halus menyebabkan cairan kopi sedikit lambat turunnya, tetapi semua intisari kopi keluar. 

“Coba lihat, cairan espresso ini lebih kental dan aromanya sangat menonjol dan lama-lama rasa gula kopi terasa dilidah kita,” kata Adi Taroepratjeka.

Benar sekali, espresso pahit yang tidak saya bubuhi gula, kok pada akhirnya terasa manis setelah dua kali hirup. Supaya lebih encer, Adi Taroepratjeka membubuhkan air panas dalam cangkir, kemudian dituangnya setengah gelas kecil espresso. Sekali lagi saya coba menghirup espresso yang sudah dicampur air panas itu, ternyata rasa espressonya tetap menonjol dan tidak berubah. Pengetahuan yang sangat berharga, kata saya kepada Win Ruhdi.

Hari itu, Win Ruhdi yang berniat memperdalam ilmunya dibidang racik meracik kopi, akhirnya mendapat dua pengetahuan berharga tentang meracik espresso dari Adi Taroepratjeka. Sejak itu, rasa kopi racikan Win Ruhdi yang menggunakan teknik ala Adi Taroepratjeka menghasilkan secangkir espresso yang “nendang” dan kaya aroma khas kopi arabika gayo.

Kini, pelanggan coffee corner Win Ruhdi terus bertambah dari hari ke hari. Dia juga telah mengembangkan menunya dengan berbagai varian kopi plus susu, seperti cappucino, cafelate, kopi plus es krim, disamping black coffe dan americano.

Tanaman Kopi Dalam Pandangan Turis Polandia

13275588421318375648
Dua Gadis bule menumbuk kopi
Sensasi kopi arabika gayo memang luar biasa. Sampai-sampai dua gadis bule asal Polandia, Joanna Niedzialek dan Bogumila Jablecka terobsesi untuk belajar menumbuk kopi. Selama ini mereka sudah terlanjur “jatuh cinta” kepada aroma kopi arabika gayo. Mereka hanya mengenal nama besar kopi arabika gayo, tetapi belum kenal proses pengolahannya.

Kisahnya begini, setelah saya mengantar dua wisatawan asal Polandia itu ke pondokan Aman Shafa di Desa Paya Serngi Aceh Tengah, Jumat sore (21/1/2012) lalu, ternyata mereka tidak langsung tidur meski sudah kelihatan sangat lelah. Menurut Aman Shafa yang saya temui tadi, Kamis (26/1/2012) di cafe cornernya, kedua gadis Polandia yang sedang mengambil program studi Bahasa Indonesia di Unkris Petra itu, ternyata minta diajarkan cara mengolah kopi.

Malam itu, Aman Shafa bersama isterinya terpaksa menyediakan alu dan lesung kayu ukuran kecil, alat tampi (tampah), serta sekitar setengah kilogram gabah kopi luwak. Setelah Aman Shafa mengajarkan cara menumbuk gabah kopi, kedua gadis itu mulai mencoba pekerjaan petani kopi di Dataran Tinggi Gayo. Dengan alu pendek dan lesung kecil yang terbuat dari kayu, Joanna terus menumbuk kopi. Selesai ditumbuk oleh Joanna, Bogumila menampi kopi itu untuk memisahkan ampas kulit tanduk dari green bean.

13275590371335700524
Menampi biji kopi
Menurut Aman Shafa, pekerjaan menumbuk kopi menggunakan lesung kayu biasanya membutuhkan waktu hanya 30 menit. Namun kedua gadis asal Polandia itu menghabiskan waktu sampai satu jam. Ketidakbiasaan menumbuk kopi menyebabkan alunya lebih sering tertumbuk ke bibir lesung sehingga kopinya bertumpahan ke lantai.

“Pemandangan yang sangat lucu melihat dua gadis bule sedang memungut biji kopi dari lantai rumah,” kata Aman Shafa tertawa.

Demikian juga yang dilakukan Bogumila, saat menampi gabah kopi yang sudah ditumbuk Joanna terlihat sangat lucu. Badan Bogumila ikut bergerak seperti orang yang sedang menari mengikuti irama alat tampi. Seharusnya, saat menampi hanya kedua tangan yang bergerak. Akibat aksi dua gadis bule itu, debu ampas kopi berterbangan memenuhi ruang keluarga di pondokan Aman Shafa. Debu itu bisa menyebabkan batuk, tetapi mereka kelihatan tidak berusaha untuk menutup hidungnya.

Dengan cara menampi seperti itu, tentu saja sejumlah biji kopi bertumpahan ke lantai. Namun, dengan telaten mereka mengutip kembali satu persatu kopi yang berserakan itu. Pada akhirnya, sekitar pukul 23.00 WIB, mereka dapat menyelesaikan pekerjaan menumbuk kopi secara tradisional. 

“Mereka kelihatan tidak capek, tetapi sangat gembira bisa menuntaskan pekerjaan yang biasanya dilakukan para petani kopi,” ungkap Aman Shafa.

Kepada Aman Shafa, Joanna mengakui bahwa selama ini mereka hanya mengetahui kopi itu adalah yang sudah diroasting (sudah disangrai). Jenis itu yang sering mereka lihat di cafe-cafe Eropa. Mereka tidak pernah membayangkan, ternyata begini sulitnya para petani mengolah biji kopi, mulai dari buah chery (biji merah) diolah menjadi gabah, dijemur sampai kering, lalu ditumbuk sampai menjadi green bean, kemudian dijemur lagi. Jadi sangat wajar jika harga kopi itu mahal, kata mereka kepada Aman Shafa.

13275589162103298092
Di ladang kopi
Untuk melengkapi pengalaman mereka dalam bidang perkopian, besok paginya, Aman Shafa mengajak mereka meninjau kebun kopi penduduk yang berada di sekitar pondokan itu. Joanna sangat kaget saat mengetahui bahwa tinggi pohon kopi sampai 1,70 meter. Sebelumnya dia berpikir, tanaman kopi itu hanya sejenis tanaman kacang-kacangan yang tinggi batangnya sekitar 10 cm. 

“Mereka pikir tanaman kopi itu sejenis kacang kedelai,” kata Aman Shafa.

Sebelum melanjutkan perjalanannya ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Aceh Tenggara, mereka berjanji kepada Aman Shafa akan kembali lagi ke Takengon pada musim liburan mendatang. Obsesinya sederhana, mereka ingin memetik kopi bersama petani. Aman Shafa sampai geleng-geleng kepala melihat tekad mereka yang begitu perhatian terhadap kopi arabika gayo.

“Sebelumnya mereka memang sudah dapat informasi bahwa kopi arabika gayo sebagai salah satu kopi terbaik di dunia, malah Joanna termasuk pengopi berat” jelas Aman Shafa.