![]() |
Perempuan pemetik kopi |
Mengakhiri bulan Maret ini, ditandai dengan masuknya masa panen pertama
kopi arabika gayo dalam tahun 2012. Ribuan hektar tanaman kopi arabika
yang terhampar di wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah
terlihat dipenuhi oleh biji merah. Kompasianer sempat terheran-heran,
kenapa biji kopi yang sudah cukup matang itu belum juga dipetik oleh
pemiliknya.
Ketika ditanyakan kepada beberapa pemilik kebun kopi itu, mereka mengaku
sedang menunggu buruh pemetik kopi selesai memetik kopi di kebun orang
lain. Inen Upa (47) salah seorang petani kopi di Paya Tumpi Aceh Tengah,
Minggu (25/3/2012) di sela-sela aktifitasnya memetik kopi, menambahkan
bahwa dengan panen yang cukup melimpah itu, mereka tidak mampu memetik
sendiri. Mereka tetap membutuhkan tenaga buruh pemetik kopi.
Menurut perempuan beranak empat itu, jika dia sendiri yang memetik kopi
di kebun yang luasnya satu hektar itu, dikhawatirkan buah kopi yang
sudah merah itu terlanjur berguguran. Sebab, untuk memetik buah kopi
yang telah merah bernas itu membutuhkan tenaga sekitar dua sampai tiga
orang. Dalam minggu terakhir ini, order memetik kopi kopi terus
meningkat, maka buruh pemetik kopi makin langka, ada yang lagi kosong
tetapi tarif yang mereka minta tidak realistis. Biasanya, ongkos memetik
kopi adalah 10% dari hasil petikannya, kini naik menjadi 20%.
Inen Upa sebagai petani yang pas-pasan, merasa belum mampu untuk
membayar ongkos petik kopi dengan tarif sebesar itu. Apalagi setelah
harga kopi gelondong merah turun drastis sehingga dia khawatir jika
hasil panennya tidak mampu menutupi biaya produksi. Akhirnya, dia
mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk gotong royong memetik
kopi.
Ditempat terpisah, Win Ruhdi Aman Shafa, salah seorang pemerhati kopi
dari Takengon, mengungkapkan bahwa sejumlah petani di Kabupaten Bener
Meriah terpaksa mendatangkan buruh pemetik kopi dari luar daerah
(pesisir Aceh). Buruh pemetik kopi itu ada juga yang didatangkan khusus
dari Besitang Sumatera Utara.
“Para petani menyiapkan bedeng khusus
untuk tempat tinggal buruh pemetik kopi itu,” jelas Aman Shafa.
Langkanya buruh pemetik kopi di negeri kopi itu, lanjut Win Ruhdi, bukan
hanya karena ongkos petik kopi meningkat, namun karena buruh pemetik
kopi juga sedang disibukkan memetik kopi di kebunnya masing-masing.
Mereka yang konsisten sebagai buruh pemetik kopi biasanya adalah pekerja
serabutan. Sangat logis jika para petani yang memiliki lahan luas
terpaksa mendatangkan buruh pemetik kopi dari luar daerah.
Pada saat ini, harga kopi gelondong merah Rp. 90 ribu per kaleng (ukuran
12 kg). Kemampuan rata-rata buruh pemetik kopi sebanyak 5 kaleng per
hari. Jika ongkos memetik kopi 10% dari hasil pemetikan per hari, maka
buruh pemetik kopi bisa mengantongi uang sebesar Rp. 45 ribu. “Sekarang
ongkosnya naik sampai 20% dari hasil pemetikan, maka mereka bisa bawa
pulang uang sebesar Rp.90 ribu per hari,” ungkap Win Ruhdi.
Ternyata, para petani kopi arabika gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan
Bener Meriah mampu memberi lapangan kerja kepada buruh pemetik kopi,
baik dari dalam daerah maupun dari luar daerah. Sebenarnya kurang tepat
jika dikatakan bahwa para petani tidak bisa memberi lapangan kerja
kepada orang lain.
“Buktinya, dengan komoditi kopi para pedagang atau pengusaha cafe bisa
membuka lapangan kerja, begitu juga petani menyediakan lapangan kerja
bagi buruh pemetik kopi,” ungkap barista di Kantin Batas Kota, Paya
Tumpi itu.