Minggu, 14 Desember 2014

Buruh Pemetik Kopi Makin Langka

Perempuan pemetik kopi
Mengakhiri bulan Maret ini, ditandai dengan masuknya masa panen pertama kopi arabika gayo dalam tahun 2012. Ribuan hektar tanaman kopi arabika yang terhampar di wilayah Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah terlihat dipenuhi oleh biji merah. Kompasianer sempat terheran-heran, kenapa biji kopi yang sudah cukup matang itu belum juga dipetik oleh pemiliknya.

Ketika ditanyakan kepada beberapa pemilik kebun kopi itu, mereka mengaku sedang menunggu buruh pemetik kopi selesai memetik kopi di kebun orang lain. Inen Upa (47) salah seorang petani kopi di Paya Tumpi Aceh Tengah, Minggu (25/3/2012) di sela-sela aktifitasnya memetik kopi, menambahkan bahwa dengan panen yang cukup melimpah itu, mereka tidak mampu memetik sendiri. Mereka tetap membutuhkan tenaga buruh pemetik kopi.

Menurut perempuan beranak empat itu, jika dia sendiri yang memetik kopi di kebun yang luasnya satu hektar itu, dikhawatirkan buah kopi yang sudah merah itu terlanjur berguguran. Sebab, untuk memetik buah kopi yang telah merah bernas itu membutuhkan tenaga sekitar dua sampai tiga orang. Dalam minggu terakhir ini, order memetik kopi kopi terus meningkat, maka buruh pemetik kopi makin langka, ada yang lagi kosong tetapi tarif yang mereka minta tidak realistis. Biasanya, ongkos memetik kopi adalah 10% dari hasil petikannya, kini naik menjadi 20%.

Inen Upa sebagai petani yang pas-pasan, merasa belum mampu untuk membayar ongkos petik kopi dengan tarif sebesar itu. Apalagi setelah harga kopi gelondong merah turun drastis sehingga dia khawatir jika hasil panennya tidak mampu menutupi biaya produksi. Akhirnya, dia mengerahkan seluruh anggota keluarganya untuk gotong royong memetik kopi.

Ditempat terpisah, Win Ruhdi Aman Shafa, salah seorang pemerhati kopi dari Takengon, mengungkapkan bahwa sejumlah petani di Kabupaten Bener Meriah terpaksa mendatangkan buruh pemetik kopi dari luar daerah (pesisir Aceh). Buruh pemetik kopi itu ada juga yang didatangkan khusus dari Besitang Sumatera Utara. 

“Para petani menyiapkan bedeng khusus untuk tempat tinggal buruh pemetik kopi itu,” jelas Aman Shafa.

Langkanya buruh pemetik kopi di negeri kopi itu, lanjut Win Ruhdi, bukan hanya karena ongkos petik kopi meningkat, namun karena buruh pemetik kopi juga sedang disibukkan memetik kopi di kebunnya masing-masing. Mereka yang konsisten sebagai buruh pemetik kopi biasanya adalah pekerja serabutan. Sangat logis jika para petani yang memiliki lahan luas terpaksa mendatangkan buruh pemetik kopi dari luar daerah.

Pada saat ini, harga kopi gelondong merah Rp. 90 ribu per kaleng (ukuran 12 kg). Kemampuan rata-rata buruh pemetik kopi sebanyak 5 kaleng per hari. Jika ongkos memetik kopi 10% dari hasil pemetikan per hari, maka buruh pemetik kopi bisa mengantongi uang sebesar Rp. 45 ribu. “Sekarang ongkosnya naik sampai 20% dari hasil pemetikan, maka mereka bisa bawa pulang uang sebesar Rp.90 ribu per hari,” ungkap Win Ruhdi.

Ternyata, para petani kopi arabika gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah mampu memberi lapangan kerja kepada buruh pemetik kopi, baik dari dalam daerah maupun dari luar daerah. Sebenarnya kurang tepat jika dikatakan bahwa para petani tidak bisa memberi lapangan kerja kepada orang lain.

“Buktinya, dengan komoditi kopi para pedagang atau pengusaha cafe bisa membuka lapangan kerja, begitu juga petani menyediakan lapangan kerja bagi buruh pemetik kopi,” ungkap barista di Kantin Batas Kota, Paya Tumpi itu.

Pupuk Organik dari Limbah Cangkang Kopi

1331910146756759902
Limbah cangkang kopi digunakan sebagai pupuk
Hukum Thermodinamika II menegaskan bahwa “energi itu tidak pernah habis hanya berubah bentuk.” Alam menyediakan sumber energi yang demikian banyak, baik energi berbentuk bahan bakar, bahan makanan, termasuk pupuk sebagai bahan makanan tanaman. Salah satu sumber pupuk untuk tanaman kopi berasal dari limbah cangkang kopi (endocarp) itu sendiri.

Para petani kopi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang jumlahnya mencapai 62.100 kepala keluarga sudah banyak yang meninggalkan pupuk an-organik. Kini, mereka beralih menggunakan pupuk organik yang berasal dari limbah cangkang biji kopi.

Walaupun mereka menggunakan pupuk organik untuk meningkatkan produksi dan kesuburan tanaman kopinya, namun mereka tidak termasuk dalam kelompok petani organik. Sebab, mereka yang tergolong dalam kelompok tani organik jika kelompok itu dibina oleh lembaga penerbit sertifikat organik. Untuk masuk dalam kelompok itu tentu harus membayar biaya inspeksi dan lain-lain.

Bagi Ponirin (50) yang biasa dipanggil Pon, meskipun dia tidak termasuk dalam kelompok tani organik, dia tetap membudidayakan tanamannya secara organik. Petani yang memiliki sehektar kebun kopi di kawasan Desa Simpang Teritit Bener Meriah itu selalu menggunakan limbah cangkang biji kopi sebagai sumber pupuk organiknya.

Hebatnya, meskipun Ponirin tidak bisa baca tulis, tetapi dia mampu mengelola uang hasil penjualan kopi kelompok taninya sampai milyaran rupiah. Pada akhirnya, mereka mampu membangun lantai jemur dan huller milik kelompok yang terletak disamping rumah Ponirin.

Lantai jemur dan huller (mesin pemecah cangkang kopi) itu, setiap harinya menghasilkan puluhan kilogram cangkang kopi. Limbah cangkang kopi itu dibiarkan menggunung sampai mencapai atap rumah. Biasanya, limbah cangkang kopi itu dibakar oleh Ponirin. Namun, setelah mereka mengetahui bahwa kulit cangkang itu dapat digunakan sebagai pupuk organik, maka para petani yang merupakan anggota kelompoknya mengambil secara cuma-cuma limbah cangkang kopi itu.

Dapat dilihat kebun kopi para petani disekitar rumah Ponirin yang permukaan tanahnya diserak dengan limbah cangkang kopi. Ini berarti, makanan tanaman kopi disuplai dari cangkang kopi. Terbukti memang, tanaman kopi yang dipupuk dengan limbah cangkang kopi itu terlihat subur-subur dan memiliki buah yang penuh diantara dahan-dahan yang ada. Karena makin banyak yang mengambil limbah cangkang kopi untuk memupuk tanaman kopi mereka, sehingga Ponirin tidak perlu lagi membakarnya.

Sebenarnya, selain sebagai pupuk organik, limbah kulit kopi itu dapat digunakan sebagai pakan ternak. Hasil analisa laboratorium ilmu makanan ternak Departemen Peternakan FP USU (2010) menemukan bahwa kandungan gizi dalam kulit kopi meliputi (tanpa diamonisasi): bahan kering 90,52%; lemak kasar 1,31%; serat kasar 34,11%; protein kasar 6,27%; abu 7,54%; kadar air 9,48%.

Ketika hal itu saya ungkapkan kepada Ponirin, dia kelihatan bersemangat dan ingin segera memanfaatkan limbah cangkang kopi itu sebagai pakan ternaknya. Tetapi, kemudian dia jadi bingung, bagaimana cara mengolahnya. Saya juga bingung, bagaimana harus menjelaskan kepada Ponirin tentang cara mengolahnya karena bukan ahli dibidang itu.

Pastinya, saya berjanji akan mencarinya di internet. Kalau nanti sudah ketemu metode pengolahan limbah cangkang kopi menjadi pakan ternak, akan saya sampaikan kepada Ponirin. Dengan demikian, tidak semua limbah cangkang kopi harus dijadikan pupuk, sebagiannya dapat menjadi pakan ternak. Kotoran ternak yang nantinya dijadikan pupuk organik, sehingga petani dapat memperoleh tambahan penghasilan dari ternak
.
Bagi Ponirin, dia sudah cukup puas jika limbah cangkang kopi dapat dijadikan pupuk organik, sehingga bisa menghemat biaya pembelian pupuk an-organik. Tetapi dia lebih puas lagi jika limbah cangkang kopi dapat diolah menjadi pakan ternak. 

“Petani akan dapat dua keuntungan.” kata Ponirin.

Limbah Kulit Kopi Diolah Sebagai Gula Cair

Penampilan Ipak dan Dika di ISPO Ke-4 (Foto: Darmawan)
Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Mungkin pribahasa itu yang cocok diberikan kepada dua orang siswa SMAN 1 Takengon Aceh Tengah, Dika Ramadhanu dan Ipak Putri Iwanisa yang dibimbing oleh Ibu Helida Fitri S.Pd. Mereka berhasil meraih Honorable Mention (medali perunggu) dalam Indonesian Science Project Olympiad (ISPO) ke-4 Tahun 2012 di Jakarta, 21 Februari 2012 lalu.

Hal ini membuktikan bahwa walaupun mereka sekolah di sebuah SMA “ndeso” tetapi karena ada kemauan, maka mereka berhasil “berbicara” di level nasional. Mereka, anak-anak desa dari kota kecil Takengon  akhirnya mampu meraih peringkat terhormat tingkat nasional untuk sebuah hasil penelitiannya terhadap pembuatan gula cair dari limbah buah kopi.

Penelitian yang mereka lakukan diberi judul “Pemanfaatan Daging Buah Kopi Sebagai Alternatif Pengganti Gula Pasir Untuk Mengurangi Resiko Terkena Diabetes.” Menurut penuturan Darmawan Masri, salah seorang guru pembimbingnya, penelitian mereka terinspirasi dari kegemaran luwak memakan kulit merah buah kopi, kemudian mengeluarkan bijinya sebagai kotoran.

Kedua siswa itu mencoba mencicipi buah kopi yang berwarna merah dengan lidah. Hasilnya, bagian dalam dari buah kopi (disebut daging buah kopi terletak dibawah kulit ari) terasa manis. Dari hasil mencicipi buah kopi itu, sampailah mereka pada kesimpulan bahwa kadar gula yang terkandung dalam buah kopi sangat signifikan. Kemudian mereka berpikir, bagaimana mengolah limbah buah kopi yang selama ini dibuang untuk dijadikan cairan gula.

Dari hasil pengamatan Darmawan Masri disebutkan bahwa kedua siswa itu memasak air cucian daging buah kopi. Waktu yang dibutuhkan untuk memasak air cucian buah kopi itu mencapai 3 jam. Setelah itu, terpisahlah antara air dengan gula. 

“Makin lama air itu diendapkan maka rasanya makin manis,” kata Darmawan yang sudah mencicipi cairan gula kopi.

Dika Ramadhanu, Senin (5/3/2012) mengatakan bahwa dengan proses memasak air cucian 1 Kg buah kopi akan menghasilkan 150 ml gula cair. Perolehan gula cair itu telah dilakukan uji lab terhadap kadar gula buah kopi di laboratorium Universitas Sumatera Utara. Ditemukan kadar sukrosa dalam gula kopi sebanyak 4,68% sedangkan dalam gula biasa kadar sukrosanya mencapai 99,8%.

Mereka berencana akan melakukan penelitian lanjutan untuk menjadikan cairan gula tadi sebagai serbuk gula kopi yang bisa digunakan para peminum kopi dan masyarakat. Biasanya, para peminum kopi menambahkan gula pasir atau gula jagung dalam kopi mereka. 

“Ke depan, minum kopi dapat menggunakan gula kopi,” kata Darmawan Masri optimis.

Penemuan gula cair dari daging buah kopi itu sangat membanggakan para petani kopi di Aceh Tengah. Peluang usaha para petani kembali terbuka dari limbah kopi. Selama ini, para petani selalu membuang hasil cucian buah kopi, padahal hasil cucian itu mengandung gula rendah kalori. Dengan penemuan ini, disamping biji kopinya berharga tinggi, limbahnya juga bisa dijadikan sumber pendapatan.

Selain Dika Ramadhanu dan Ipak Putri Iwanisa, pihak SMAN 1 Takengon berhasil mengikutkan dua tim lagi ke tahap final ISPO 2012 di Jakarta. Tim dibidang komputer diikuti oleh Yudi Agus Pratama dan Ayuni, sedangkan tim dibidang rekayasa teknologi diikuti oleh Ulpa Herdira dan Ahmad Faisal. Namun, di ajang ISPO 2012 ini, mereka belum beruntung. 

 “Tahun depan, persiapannya akan kita maksimalkan lagi,” sebut Darmawan, guru matematika pada SMAN 1 Takengon itu.

Avocado Coffee, Rasakan Sensasinya

13298412081008006489
Avocado Coffee
Avocado atau alpukat (persea americana) merupakan buah berwarna hijau yang kaya khasiat. Kompasdotcom (2 Juli 2010) menulis bahwa alpukat meskipun kandungan lemaknya tinggi yakni sekitar 16 persen, tetapi lemaknya aman malah menyehatkan. Karena sekitar 63% unsur penyusunnya adalah asam lemak tak jenuh, terutama asam lemak tidak jenuh tunggal.


Diet alpukat yang kaya asam lemak tak jenuh ini dapat menurunkan kolesterol LDL (low density lipoprotein) yang dapat merugikan kesehatan. Lemak tidak jenuh tunggal juga mempunyai aktivitas antioksidan yang menjaga tubuh dari kerusakan arteri akibat keganasan kolesterol LDL.


Dokter Samuel Oetoro SpGK, ahli gizi dari Semanggi Spesialis Clinic dalam peringatan Hari Buah Internasional 2010 menyarankan agar orang yang menderita diabetes sangat dianjurkan untuk mengonsumsi buah alpukat. Menurutnya, kandungan omega-9 dan seratnya sangat baik untuk menjaga kadar gula darah.

Membaca penjelasan tersebut, berarti alpukat memiliki khasiat luar biasa untuk kesehatan manusia. Buah berwarna hijau ini juga memiliki rasa yang sangak maknyus, lemak dan mengenyangkan. Selama ini, orang banyak membuat alpukat sebagai minuman jus yang ditambah susu kental manis. Rasanya sudah pasti sangat enak, sebab buah alpukat yang lemak ditambah susu kental manis, bisa dibayangkan bagaimana rasanya (manis+lemak).


Sekarang, bagaimana kita mengolah jus alpukat dengan menambah varian kopi. Selama ini, varian kopi (espresso) banyak dibuat menjadi cappucino atau cafelate, es kopi atau mocchachino. Barangkali masih jarang orang yang membuat variasi jus alpukat dengan varian kopi. Rasanya bagaimana? Wow, sungguh luar biasa dan membuat orang yang mencobanya akan ketagihan.


Dua hari lalu, saya sedang menikmati secangkir espresso di coffee corner Win Ruhdi. Dari obrolan disana, terungkaplah cerita tentang cara menikmati alpukat dimasa kanak-kanak dulu. Dimasa itu, supaya rasa alpukat lebih maknyus, biasanya dicampur dengan bubuk kopi. Memang mencampur alpukat dengan bubuk kopi sudah menjadi tradisi turun temurun masyarakat di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah.


Menindaklanjuti cerita tersebut, saya ingin mengulangi masa-masa indah menikmati alpukat dengan kopi. Saya memesan jus alpukat tanpa diberi gula dan susu kental manis. Jus alpukat tadi saya masukkan susu cair yang sudah dijadikan foam oleh Win Ruhdi. Kemudian, secangkir espresso tadi, saya tuangkan pelan-pelan ke dalam gelas yang telah berisi jus alpukat dan susu cair.


Sungguh fantastis, warna minuman itu menjadi sangat menarik, ada hijau, putih dan coklat kehitam-hitaman. Garis-garis warna yang berjumlah empat level terlihat jelas karena minuman ini dibuat dalam gelas bening yang transparan. Dari varian warna itu saja sudah menjadi sebuah daya tarik bagi penikmat kopi atau penggemar jus alpukat. Bagaimana rasa minuman ini? Saya katakan, sangat maknyus dan luar biasa.


Sampai akhirnya, Kantin Batas Kota di Paya Tumpi Takengon tempat Win Ruhdi membuka coffee corner menjadikan avocado coffee sebagai minum unggulan mereka. Kini, para pelanggannya banyak yang sudah beralih dari cappucino atau cafelate ke avocado coffee, salah satunya karena khasiat dari alpukat yang dapat menurunkan kolesterol LDL dan menjaga kadar gula darah.


Kalau pembaca ingin meracik sendiri, caranya sangat mudah seperti yang saya gambarkan di atas. Mungkin karena intensitas kesibukan sehingga tidak sempat meraciknya, silakan berkunjung ke coffee corner Win Ruhdi. 

Sebut saja avocado coffee kepada Win Ruhdi maka di depan anda akan tersedia segelas minuman berwarna hijau, putih dan coklat kehitam-hitaman. Rasakan sensasi avocado coffee dan selamat menikmati minuman berkhasiat bagi kesehatan itu.

Demi Kualitas, Boss Ikut Sortir Kopi

Boss Bergendhaal Koffie ikut menyortir kopi
Pandangan orang pada umumnya bahwa seorang boss selalu diimajinasikan sebagai seseorang yang berada dibelakang sebuah meja mewah. Dengan meja yang sedemikian itu, dianggap orang yang berada dibelakang meja itu memiliki wibawa. Mungkin asumsi meja mewah terkait dengan wibawa cocok ditujukan kepada pejabat politik atau birokrasi, meskipun keberadaannya dibelakang meja itu dalam posisi sebagai “buruh rakyat.”

Tempat kerja atau biasa disebut kantor, barangkali bisa berbeda antara satu profesi dengan profesi yang lain. Bagi seorang politisi dan pejabat negara (birokrasi), kantornya berada dalam sebuah gedung yang dibangun oleh negara. Sebaliknya, bagi seorang usahawan, kantornya bisa juga berada dalam sebuah gedung, namun tidak jarang berada di sebuah gudang kumuh.

Dari gudang kumuh itu proses produksi berlangsung. Kemudian, proses produksi itu memberi lapangan kerja kepada sejumlah orang. Fakta itulah yang dibuktikan oleh boss Bergendaal Koffie, sebuah perusahaan yang mengelola cafe dan industri pengolahan kopi arabika. Haji Yusrin selaku boss usaha pengolahan kopi ini tidak berkantor dalam sebuah ruang mewah dengan meja berkilau, tetapi dia memimpin perusahaannya dari sebuah meja sortasi.

Meja sortasi merupakan sebuah meja kayu ukuran 60×120 cm yang digunakan untuk menyortir biji kopi yang baru dipetik oleh para petani. Setiap pagi sampai sore hari, boss Bergendaal Koffie itu duduk dibelakang meja sortir ditemani secangkir espresso. Dengan suasana riang, dia melakukan pemisahan biji kopi yang masak sempurna dengan biji yang masih hijau atau setengah masak.

Aktivitas ini terpaksa dilakukan sendiri oleh seorang boss karena dia ingin memastikan bahan baku kopi arabika yang akan dijadikan coffee roasted nantinya, bebas cacat dan 100% sempurna. Menurut pengalamannya, dari bahan baku kopi arabika yang masak sempurna akan menghasilkan bubuk kopi yang kaya cita rasa dan aroma. Pekerjaan menyortir bahan baku sampai menghasilkan green bean tetap dilakukannya sendiri. Soalnya, jika salah menyortir akan menghasilkan coffee roasted yang cacat rasa.

Haji Yusrin, seorang pensiunan yang memiliki sepetak kebun kopi di Desa Simpang Teritit Kabupaten Bener Meriah Aceh. Seiring dengan tingginya permintaan coffee roasted, kini dia telah beralih profesi menjadi seorang peracik kopi arabika Gayo. Produknya dikenal dengan merek Bergendaal Koffie. Dengan standar cita rasa yang konsisten, produk coffee roasted menjadi bahan baku untuk Borbon Cafe di Lhokseumawe, Rully Cafe Kiliranjao Sumbar dan Coffee d’Aceh di Cimanggu Bogor.

Produk coffee roasted Haji Yusrin juga diorder oleh beberapa cafe di Langsa, Banda Aceh, Medan, Batam, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Menurut Haji Yusrin, setiap minggu dia memasok 20 Kg coffee roasted ke Kuala Lumpur. Seorang pengusaha cafe dari Jepang meminta Haji Yusrin menyediakan 6 ton coffee roasted, namun belum mampu dipenuhi karena petani belum panen. 

“Stok biji kopi green bean yang tersedia di gudang hanya sebanyak 2,5 ton,” ungkap Haji Yusrin.

Kemampuan produksi coffee roasted dari industri Haji Yusrin hanya sebanyak 50 kg per hari, karena masih tergolong industri rumah tangga. Namun omsetnya per bulan mencapai Rp.500 juta. Dengan omset yang lumayan besar ini, dia mampu menggaji beberapa orang tenaga kerja.

Pastinya, usaha coffee roasted milik Haji Yusrin telah berhasil menampung sebanyak 10 orang tenaga kerja, dan nilai jual kopi ditingkat petani secara otomatis naik. 

“Usaha ini awalnya untuk menampung produk kopi keluarga, alhamdulillah sekarang sudah mampu menampung kopi para petani di Desa ini,” jelas pelopor usaha coffee roasted di Bener Meriah dan Aceh Tengah itu.

Belajar Racik Kopi Bersama Adi Taroepratjeka

Adi Taroepratjeka mempraktekkan cara meracik kopi
Kopi adalah bahan baku minuman istimewa yang sedang ngetrend saat ini. Cafe dan warung kopi tumbuh bak jamur dimusim hujan. Para pelanggan dan peminat minuman berkafein itu terus bertambah dari hari ke hari seiring tumbuhnya sejumlah cafe. Para barista atau peracik kopi, kini menjadi sebuah profesi yang disegani.

Sungguh besar keinginan para barista pemula untuk belajar meracik kopi dari barista top, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri. Mengikuti coffee course di pusat pelatihan barista tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mengundang barista top berkunjung ke daerah, belum tentu mereka bersedia hadir.

Tersebutlah Win Ruhdi, seorang petani Aceh Tengah yang mulai melangkah maju menjadi seorang barista dan coffee roaster. Dia yang sudah pernah mengikuti coffee course awal 2011 lalu merasa masih memiliki banyak kekurangan dalam meracik aneka minuman berbahan baku kopi. Sebagai barista pemula, dia sangat berkeinginan untuk menambah pengetahuan dibidang racik meracik kopi.

Kepada saya di coffee corner-nya, Win Ruhdi selalu mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan kursus barista. Saya hanya bisa memberinya semangat, dengan harapan jika sudah terkumpul dana yang cukup, tentu cita-citanya bisa diwujudkan. Ketika sedang mendiskusikan hal itu, hari Jumat beberapa waktu yang lalu, tiba-tiba masuk lima orang pria dan satu wanita ke coffee corner milik Win Ruhdi.

Salah seorang pria yang berkulit putih bersih, dengan kumis yang menyatu dengan jenggot melirik mesin espresso kecil milik Win Ruhdi. Dia memperkenalkan diri sebagai Adi Taroepratjeka dari Kompas TV. Dia minta izin untuk melihat mesin espresso itu, serta mencoba membuat sendiri secangkir espresso.

Kami yang sedang menikmati secangkir espresso terkagum-kagum melihat Adi Taroepratjeka mengoperasionalkan mesin espresso itu. Kedua tangannya sangat terampil mengisi bubuk kopi dalam wadah pembuat espresso. Cara memegang dan mengelap cangkir terlihat sangat terlatih, benar-benar seperti seorang barista profesional. Tidak terdapat kesan canggung sedikitpun.

Semua terheran-heran, siapa gerangan pria bernama Adi Taroepratjeka itu? Saya mencoba menikmati secangkir espresso hasil racikannya, wow…sungguh berbeda rasa dan aromanya dibanding buatan Win Ruhdi. Saya bertanya, apa sebenarnya pekerjaan yang bersangkutan. 

Adi Taroepratjeka menyebutkan bahwa dia adalah pemandu acara Coffee Story di Kompas TV. Saya baru ingat, dia itu salah seorang barista yang mengantongi lisensi coffee tester internasional.

Bangganya bukan main karena bisa menikmati secangkir espresso hasil racikan seorang pemandu acara pada Kompas TV. Saya menanyakan, kenapa rasa espresso hasil racikannya lebih “nendang” dibandingkan yang diracik Win Ruhdi. Menurut Adi Taroepratjeka, selama ini Win Ruhdi menyetel mesin grinder (penggiling coffee roasted) pada level 3 sehingga bubuknya terlalu kasar.

Seharusnya saat menggrinder kopi, disetel pada level 1 sehingga bubuknya lebih halus sedikit. Memang, bubuk yang lebih halus menyebabkan cairan kopi sedikit lambat turunnya, tetapi semua intisari kopi keluar. 

“Coba lihat, cairan espresso ini lebih kental dan aromanya sangat menonjol dan lama-lama rasa gula kopi terasa dilidah kita,” kata Adi Taroepratjeka.

Benar sekali, espresso pahit yang tidak saya bubuhi gula, kok pada akhirnya terasa manis setelah dua kali hirup. Supaya lebih encer, Adi Taroepratjeka membubuhkan air panas dalam cangkir, kemudian dituangnya setengah gelas kecil espresso. Sekali lagi saya coba menghirup espresso yang sudah dicampur air panas itu, ternyata rasa espressonya tetap menonjol dan tidak berubah. Pengetahuan yang sangat berharga, kata saya kepada Win Ruhdi.

Hari itu, Win Ruhdi yang berniat memperdalam ilmunya dibidang racik meracik kopi, akhirnya mendapat dua pengetahuan berharga tentang meracik espresso dari Adi Taroepratjeka. Sejak itu, rasa kopi racikan Win Ruhdi yang menggunakan teknik ala Adi Taroepratjeka menghasilkan secangkir espresso yang “nendang” dan kaya aroma khas kopi arabika gayo.

Kini, pelanggan coffee corner Win Ruhdi terus bertambah dari hari ke hari. Dia juga telah mengembangkan menunya dengan berbagai varian kopi plus susu, seperti cappucino, cafelate, kopi plus es krim, disamping black coffe dan americano.

Tanaman Kopi Dalam Pandangan Turis Polandia

13275588421318375648
Dua Gadis bule menumbuk kopi
Sensasi kopi arabika gayo memang luar biasa. Sampai-sampai dua gadis bule asal Polandia, Joanna Niedzialek dan Bogumila Jablecka terobsesi untuk belajar menumbuk kopi. Selama ini mereka sudah terlanjur “jatuh cinta” kepada aroma kopi arabika gayo. Mereka hanya mengenal nama besar kopi arabika gayo, tetapi belum kenal proses pengolahannya.

Kisahnya begini, setelah saya mengantar dua wisatawan asal Polandia itu ke pondokan Aman Shafa di Desa Paya Serngi Aceh Tengah, Jumat sore (21/1/2012) lalu, ternyata mereka tidak langsung tidur meski sudah kelihatan sangat lelah. Menurut Aman Shafa yang saya temui tadi, Kamis (26/1/2012) di cafe cornernya, kedua gadis Polandia yang sedang mengambil program studi Bahasa Indonesia di Unkris Petra itu, ternyata minta diajarkan cara mengolah kopi.

Malam itu, Aman Shafa bersama isterinya terpaksa menyediakan alu dan lesung kayu ukuran kecil, alat tampi (tampah), serta sekitar setengah kilogram gabah kopi luwak. Setelah Aman Shafa mengajarkan cara menumbuk gabah kopi, kedua gadis itu mulai mencoba pekerjaan petani kopi di Dataran Tinggi Gayo. Dengan alu pendek dan lesung kecil yang terbuat dari kayu, Joanna terus menumbuk kopi. Selesai ditumbuk oleh Joanna, Bogumila menampi kopi itu untuk memisahkan ampas kulit tanduk dari green bean.

13275590371335700524
Menampi biji kopi
Menurut Aman Shafa, pekerjaan menumbuk kopi menggunakan lesung kayu biasanya membutuhkan waktu hanya 30 menit. Namun kedua gadis asal Polandia itu menghabiskan waktu sampai satu jam. Ketidakbiasaan menumbuk kopi menyebabkan alunya lebih sering tertumbuk ke bibir lesung sehingga kopinya bertumpahan ke lantai.

“Pemandangan yang sangat lucu melihat dua gadis bule sedang memungut biji kopi dari lantai rumah,” kata Aman Shafa tertawa.

Demikian juga yang dilakukan Bogumila, saat menampi gabah kopi yang sudah ditumbuk Joanna terlihat sangat lucu. Badan Bogumila ikut bergerak seperti orang yang sedang menari mengikuti irama alat tampi. Seharusnya, saat menampi hanya kedua tangan yang bergerak. Akibat aksi dua gadis bule itu, debu ampas kopi berterbangan memenuhi ruang keluarga di pondokan Aman Shafa. Debu itu bisa menyebabkan batuk, tetapi mereka kelihatan tidak berusaha untuk menutup hidungnya.

Dengan cara menampi seperti itu, tentu saja sejumlah biji kopi bertumpahan ke lantai. Namun, dengan telaten mereka mengutip kembali satu persatu kopi yang berserakan itu. Pada akhirnya, sekitar pukul 23.00 WIB, mereka dapat menyelesaikan pekerjaan menumbuk kopi secara tradisional. 

“Mereka kelihatan tidak capek, tetapi sangat gembira bisa menuntaskan pekerjaan yang biasanya dilakukan para petani kopi,” ungkap Aman Shafa.

Kepada Aman Shafa, Joanna mengakui bahwa selama ini mereka hanya mengetahui kopi itu adalah yang sudah diroasting (sudah disangrai). Jenis itu yang sering mereka lihat di cafe-cafe Eropa. Mereka tidak pernah membayangkan, ternyata begini sulitnya para petani mengolah biji kopi, mulai dari buah chery (biji merah) diolah menjadi gabah, dijemur sampai kering, lalu ditumbuk sampai menjadi green bean, kemudian dijemur lagi. Jadi sangat wajar jika harga kopi itu mahal, kata mereka kepada Aman Shafa.

13275589162103298092
Di ladang kopi
Untuk melengkapi pengalaman mereka dalam bidang perkopian, besok paginya, Aman Shafa mengajak mereka meninjau kebun kopi penduduk yang berada di sekitar pondokan itu. Joanna sangat kaget saat mengetahui bahwa tinggi pohon kopi sampai 1,70 meter. Sebelumnya dia berpikir, tanaman kopi itu hanya sejenis tanaman kacang-kacangan yang tinggi batangnya sekitar 10 cm. 

“Mereka pikir tanaman kopi itu sejenis kacang kedelai,” kata Aman Shafa.

Sebelum melanjutkan perjalanannya ke Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Aceh Tenggara, mereka berjanji kepada Aman Shafa akan kembali lagi ke Takengon pada musim liburan mendatang. Obsesinya sederhana, mereka ingin memetik kopi bersama petani. Aman Shafa sampai geleng-geleng kepala melihat tekad mereka yang begitu perhatian terhadap kopi arabika gayo.

“Sebelumnya mereka memang sudah dapat informasi bahwa kopi arabika gayo sebagai salah satu kopi terbaik di dunia, malah Joanna termasuk pengopi berat” jelas Aman Shafa.

Cara Membuat Kopi Decafein

Persiapan menyangrai kopi
Benarkah kopi mengandung kafein? Benar sekali, tidak ada yang bisa membantah. Bukan hanya kopi, teh bahkan coklat juga mengandung kafein. Apakah kafein membahayakan kesehatan manusia? 

Bagi mereka yang mengidap penyakit tertentu, boleh jadi kafein membahayakan kesehatannya. Sebaliknya, bagi mereka yang sehat, kafein dapat membangkitkan potensi tersembunyi yang dimiliki seseorang, menajamkan pikiran dan memompa stamina fisik.

Meskipun banyak yang kurang suka minum kopi, namun akhir-akhir ini tradisi minum kopi sudah membudaya dan menjadi gaya hidup masyarakat di seluruh pelosok dunia. Buktinya, sekitar 75% masyarakat di dunia mengonsumsi kopi arabika (biji besar) yang kaya cita rasa dan aroma, dan 25% lagi mengonsumsi kopi robusta (biji kecil). Permintaan terhadap komoditi kopi terus naik setiap tahunnya.

Menyangkut dengan kadar kafein, kopi arabika mengandung kafein rata-rata 1,1% dari bobot kopi itu sendiri, sedangkan kadar kafein kopi robusta rata-rata 2,2% dari bobotnya. Walaupun cita rasa dan aroma kopi arabika lebih tajam dan menggigit, ternyata kadar kafein kopi robusta dua kali lebih tinggi daripada kadar kafein kopi arabika. Jadi cita rasa dan aroma bukan sebagai penanda tingginya kadar kafein.

Anda tidak minum kopi karena khawatir terhadap efek kafein? Sekarang tidak perlu takut, ternyata sangat mudah menurunkan kadar kafein dalam kopi. Kita tidak mesti membayar seorang ahli kopi untuk membuat kopi rendah kafein (low cafein). Semua orang bisa melakukannya, termasuk pembaca yang budiman.

Caranya, sediakan biji kopi (green bean) yang sudah kering (kadar air 12%) atau yang masih basah (labu) secukupnya atau sesuai kebutuhan. Kemudian, rendam biji kopi tersebut dalam air biasa selama 30 menit. Setelah itu, lakukan perebusan biji kopi selama 5 menit, atau 10 menit, atau 20 menit, atau 30 menit. Makin lama direbus maka makin turun kadar kafeinnya.

Setelah proses perebusan selesai, biji kopi itu dijemur kembali sampai kering. Apabila dirasa tingkat kekeringannya sekitar 12% (indikasinya kalau digigit sudah membatu/keras) dilanjutkan dengan penyangraian (gongseng). 
Supaya aroma kopi tetap menonjol meski kafeinnya sudah kurang, sebaiknya tingkat kematangan penyangraian adalah level medium. Lalu, silahkan digiling, mau halus jika diminum sebagai kopi tubruk atau lebih kasar sedikit jika menggunakan mesin espresso.

Proses selengkapnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Sumber: Agus Sudibyo, BBIA Bogor):

Nomor
Perlakuan
Jumlah Kafein (%)
1.
Kontrol (sebelum dilakukan proses dekafeinasi)
2,03
2.
Rendam selama 30 menit
1,79
3.
Rendam 30 menit, rebus selama 5 menit
1,52
4.
Rendam 30 menit, rebus selama 10 menit
1,34
5.
Rendam 30 menit, rebus selama 20 menit
1,16
6.
Rendam 30 menit, rebus selama 30 menit
1,12

Kenapa Harus Minum Kopi?

Cupping test Kopi Gayo
Diakui atau tidak, masih banyak yang berpandangan negatif terhadap minuman berenergi, bernama kopi. Penulis mencoba menggali berbagai sumber untuk menyajikan kepada pembaca tentang manfaat minum kopi bagi tubuh manusia. Tulisan ini diberi judul “Kenapa harus minum kopi?”
 
Pada saat ini, kopi (coffee), termasuk salah satu minuman yang sangat digemari oleh masyarakat dunia. Tercatat, sekitar 75% masyarakat dunia mengkonsumsi kopi arabika yang kaya rasa dan kaya aroma dengan kandungan kafeinnya rata-rata 1,1% dari bobot kopi itu sendiri. 

Sebaliknya, sekitar 25% pasar kopi dunia dikuasai oleh jenis kopi robusta yang rasanya sedikit lebih pahit serta aromanya tidak setajam kopi arabika. Malah, kadar kafein kopi robusta dua kali lebih tinggi dari kopi arabika, yaitu 2,2% dari bobot kopi itu sendiri.

Lalu timbul pertanyaan, kenapa kita harus minum kopi? Banyak asumsi di masyarakat yang menyatakan kopi dapat membahayakan kesehatan. Asumsi ini muncul, umumnya karena dokter melarang seseorang untuk minum kopi. Larangan minum kopi itu terkait dengan penyakit yang dideritanya.

Bagi mereka yang menderita hipertensi (tekanan darah tinggi) memang berbahaya untuk mengkonsumsi kopi. Karena adrenalin akan mempercepat jantung memompa darah ke seluruh jaringan tubuh. Bagi orang sehat, kopi atau kafein sangat bermanfaat karena dapat membangkitkan potensi tersembunyi yang dimiliki seseorang, menajamkan pikiran, dan memompa stamina fisik.

Lalu bagaimana cara kerja kafein dalam tubuh kita? Dalam otak terdapat adenosin yang selalu ingin bertemu dengan “receptor”-nya yang disebut adenosin receptor. Bila kedua unsur ini bertemu akan timbul rasa kantuk. 

Saat kafein muncul, adenosin receptor lebih suka bertemu dengan kafein daripada dengan adenosin. Dalam kondisi seperti itu, kelenjar Pituitary yang berada dibawah otak “mengira” ada sebuah kondisi genting. Lalu kelenjar Pituitary memerintahkan kelenjar adren untuk segera memproduksi adrenalin.

Jelaslah bahwa kafein dapat memperbesar tingkat dopamine penggunanya. Dopamine adalah zat kimia yang tugas utamanya menyampaikan pesan dari saraf yang satu ke saraf yang lain. Saat pesan itu disampaikan, aliran darah dikirim ke seluruh bagian tubuh manusia. Oleh karena itu, kafein membuat mata yang “ngantuk” menjadi “melek,” tubuh yang lesu jadi bugar dan semangat kembali.

Dimana dapat ditemukan kafein? Akhir-akhir ini banyak ditemukan penambahan kafein dalam minuman penyegar atau minuman energi yang dijual di pasaran. Sebenarnya, sejumlah minuman yang sering dikonsumsi oleh masyarakat juga mengandung kafein dengan kadar yang berbeda-beda. 

Misalnya, 1 cangkir (180 ml) kopi instan mengandung 100 mg kafein, 1 cangkir (180 ml) kopi saring mengandung 150 mg kafein, dan 1 kaleng (360 ml) soft drink berkafein mengandung 40 mg kafein.

Ada juga orang yang tidak suka kopi karena dianggap mengandung kafein, sehingga mereka memilih tea atau coklat panas sebagai minumannya. Ternyata dalam 1 cangkir (180 ml) tea hijau mengandung 15 mg kafein, 1 cangkir (180 ml) tea hitam mengandung 50 mg kafein, dan dalam 1 cangkir (180 ml) cokelat panas juga mengandung 10 mg kafein.

Efek kafein sangat terkait dengan berat badan. Jika orang yang bertubuh langsing, biasanya akan langsung terasa efek kafein yang dikonsumsinya, sebaliknya belum tentu terasa bagi orang yang bertubuh gemuk. 

Oleh karena itu, konsumsi kafein yang proporsional perlu disesuaikan dengan berat badan seseorang sebagaimana tabel dibawah ini:


Berat Badan
Dosis yang setara dengan 150 mg per 67,5 kg berat badan (mg kafein)
Dosis tersebut dapat diperoleh dari kopi saring sebanyak
45 Kg
100 mg
120 ml
54 Kg
120 mg
150 ml
67,5 Kg
150 mg
180 ml
79 Kg
175 mg
210 ml
90 Kg
200 mg
240 ml
112,5 Kg
250 mg
300 ml
135 Kg
300 mg
360 ml
Sumber: The Miracle of Caffeine by Bennet Alan Weinberg and Bonnie K. Bealer (2002).

Lukisan dari Ampas Kopi

Sekitar Juli 2011 lalu, aku dan beberapa teman berkesempatan meninjau sebuah coffee factory di Jalan Pulau Moyo Denpasar Bali. Meskipun berada dalam kota Denpasar, mencari jalan Pulau Moyo sedikit sulit dan harus bertanya sampai lima kali. Letaknya memang sedikit di dalam, dan nama jalan ini tidak se familiar nama jalan Kuta atau nama jalan Ngurah Rai.

Setelah beberapa kali tersesat, akhirnya kami sampai di depan pintu besi yang tertutup rapat dengan pagar tembok setinggi dua setengah meter. Dari luar, sedikitpun tidak terkesan kalau gedung didalamnya adalah sebuah pabrik. Dalam pikiranku, kompleks itu hanyalah semacam industri rumah tangga dengan beberapa orang pekerja.

Seorang satpam melongok dari jendela kecil dan menanyakan maksud kedatangan kami. Aku katakan, bahwa kami sudah janji dengan pemilik pabrik yang bernama Wirawan Tjahjadi. Kurang dari lima menit menunggu, satpam tadi mempersilakan kami masuk. Dengan ramah, dia mengantar kami ke ruang tunggu. Saat melangkahkan kaki dalam kompleks pabrik, aku tercengang melihat lokasi pabrik yang begitu luas yang dipenuhi dengan beberapa bangunan panjang berbentuk gudang.

Tidak lama kemudian, seorang anak muda berkaos biru, bercelana tanggung, memakai topi pet dan sepatu kets dengan rambut panjang berjuntai dibahunya. Dia memperkenalkan diri sebagai Wirawan Tjahjadi, owner Kopi Bali House dan PT. Putra Bhineka Perkasa. Wirawan menyalami kami satu persatu, dan kemudian mengajak kami untuk berkeliling melihat pabriknya. Nyentrik juga boss ini, desahku.

Dari semua yang ditunjukkan oleh Wirawan Tjahjadi, bagiku sudah menjadi sesuatu yang biasa. Apalagi saat dia memperkenalkan biji kopi yang menggunung di gudangnya, serta tanaman kopi arabica dan robusta. Kedua jenis tanaman ini sangat banyak terdapat di daerahku, apalagi tanaman kopi arabica yang terhampar di areal 48.000 hektar.

Namun, saat dia membawa kami ke “museum” nya, aku benar-benar terkesima. Dalam “museum” itu kulihat potongan batang kopi, alat sangrai kopi tradisional, alat grinder lama, dan berbagai peninggalan industri pengolahan kopi. Sesuatu yang membuat aku berdiri lama di “museum” itu, ketika kusaksikan sebuah lukisan kepala harimau yang dibuat dari ampas bubuk kopi.

“Mungkinkah ini dari ampas bubuk kopi,” bisikku. Rupanya Wirawan Tjahjadi mendengarnya, dia menyatakan bahan lukisan itu 100% dari ampas bubuk kopi. Aku tidak yakin, kuraba permukaan kanvas itu, terasa kasar. Aku dekatkan pandangan untuk memperhatikan material yang digunakan di permukaan kanvas itu, benar memang dari ampas bubuk kopi. Wow…fantastis, teriakku tanpa sadar.

Disamping kiri lukisan kepala harimau, terpajang juga sebuah lukisan wanita Bali yang juga dibuat dari ampas bubuk kopi. Wah, ini luar biasa kreatifnya, ternyata kopi bukan hanya untuk diminum, ampasnya juga bisa dimanfaatkan untuk membuat lukisan yang cukup artistik. 

“Ampas kopi juga bisa digunakan untuk bahan luluran,” kata Wirawan sambil mengajak kami masuk ke laboratoriumnya untuk memperlihatkan bahan luluran itu.

Tetapi aku yang masih terkesima di depan lukisan kepala harimau itu tidak juga beranjak. Kupotret lukisan itu berkali-kali sebagai bahan perbandingan bagi petani di daerahku. Aku ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa dari ampas kopi bisa dibuat karya seni. Sebagaimana kata orang bijak, kreativitas tidak mengenal batas.

Kuliner Ikan Bakar dan Kopi Gayo

Mie Aceh dan kopi Gayo
Menceritakan Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, sebuah kota kecil yang terletak di tengah-tengah Provinsi Aceh tidak pernah kehabisan bahan. Kota wisata ini penuh dengan sensasi dan keunikan. Bagi mereka yang bermukim di kota itu, barangkali tidak melihat sisi istimewanya, sebaliknya bagi mereka yang baru pertama berkunjung ke sana akan berdecak kagum menyaksikan keindahan alamnya.

Sensasi yang membawa nama Takengon melejit ke seantero dunia adalah “kopi arabika Gayo” yang oleh Wirawan Tjahjadi owner PT Butterfly Coffee Bali menyebutnya dengan “one of the best coffee.” Cafe top seperti Starbucks juga menggunakan bahan baku kopi arabika Gayo, maka lengkaplah sensasi tentang Gayo dan Takengon. 

Cafe kecil yang menyediakan berbagai menu dengan bahan dasar kopi arabika, juga mulai tumbuh si sepanjang jalan menuju Takengon. Belum lagi jika bercerita tentang Danau Laut Tawar (luasnya 5.742 Ha) yang berair jernih dengan sejumlah biota air tawar yang sangat gurih hidup di danau itu.

Di danau yang berada pada ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut, menjadi sumber mata pencaharian utama penduduk yang bermukim di sekitarnya. Ikan utama yang terdapat di danau itu bernama “depik” (rasbora tawarensis), ikan mas, nila, mujahir, gabus, lele, dan ikan air tawar lainnya. 

Populasi ikan air tawar di danau kebanggan masyarakat Gayo itu mulai menurun, namun budidaya ikan melalui jaring apung mampu mengurangi tekanan terhadap populasi ikan yang hidup bebas di Danau Laut Tawar.

Budidaya ikan melalui jaring apung memberi lapangan kerja baru kepada banyak orang, baik kepada pengelola jaring apung itu sendiri, maupun kepada masyarakat yang mulai membuka usaha ikan panggang menggunakan bumbu 12 jenis. Mereka menyebutnya ikan panggang “awas (bumbu)” 12. Rasanya unik, dan aroma rempah-rempahnya sangat menyengat. Pantas untuk dicoba.

Ikan panggang ini makin istimewa manakala bumbu coleknya adalah sambal terong belanda ditambah dengan kecap bawang. Bisa-bisa kita tidak bisa hentikan selera menikmati ikan bakar Teluk One-one (sekitar 3 Km dari kota Takengon). Sayur yang menemani ikan panggang ini adalah daun labu siam rebus yang masih segar. Harga ikan panggang ini relatif murah, seekor diberi harga Rp.15.000 sampai Rp.20.000, tergantung besar atau kecilnya ikan tersebut.

Kini, sensasi rasa dan aroma ikan bakar dari Danau Laut Tawar sudah tersebar luas. Bahkan beberapa turis asing dan dalam negeri yang berkunjung ke Takengon mengkhususkan diri untuk menikmati ikan bakar Teluk One-one yang kaya bumbu itu. Beberapa wisatawan luar daerah, malah memesan khusus ikan bakar Teluk One-one melalui mobil travel L-300.

Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin, Minggu (3/12/2011) saat membuka acara didong di Teluk One-one menyatakan bahwa ikan bakar Teluk One-one telah menjadi daya tarik wisata ke Danau Laut Tawar. Semua orang sudah tahu jika disini ada ikan bakar enak. Kalau mungkin, sediakan juga sebuah toko yang menjual souvenir khas daerah, termasuk kopi Gayo. 

“Selesai makan ikan bakar, mereka akan membeli sovenir sebagai oleh-oleh,” saran Nasaruddin.

Petani Kopi Gayo Tanam dan Rawat 124 Juta Pohon

Hamparan tanaman kopi di Dataran Tinggi Gayo
Sensasional, barangkali itulah ungkapan yang terlontar saat orang membaca judul tulisan ini. Apapun komentar pembaca, itulah fakta yang sebenarnya. Sebanyak 66.101 kepala keluarga yang bekerja sebagai petani kopi arabika, tidak pernah berhenti merawat, menaman dan merehabilitasi semua tanamannya.

Bertepatan dengan Hari Menanam Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional yang jatuh pada tanggal 28 Nopember lalu, para petani tersebut mendapat tugas tambahan untuk menanam kembali sebanyak 850.000 batang tanaman kehutanan. Kegiatan itu tidak terlepas dari upaya menyukseskan program nasional yang bernama Penanaman Satu Milyar Pohon.

Pohon apakah yang telah ditanam para petani itu sehingga jumlahnya mencapai 124 juta pohon? Mereka telah menanam pohon kopi dan lamtoro sebagai pohon pelindung di ladang-ladangnya. Sesungguhnya kopi merupakan tanaman kehutanan yang tingginya bisa mencapai 9 m sebagaimana ditemukan pertama sekali di hutan-hutan Ethiopia. 

Untuk memudahkan pemetikan, para petani memangkas (membonsai) pohon kopi, sehingga tingginya tinggal 1,5 sampai 2 meter. Pemangkasan itu harus dilakukan, salah satunya untuk memudahkan mereka memetik hasilnya. Namun, kalau dilihat tegakan pohon kopi persis seperti tegakan pohon di hutan hujan tropis dengan cover dan tajuknya mampu menutupi permukaan tanah dibawahnya.

Petani Gayo adalah petani kopi arabika yang bermukim di Kabupaten Aceh Tengah yang memiliki luas lahan mencapai 48.000 hektar, lalu petani Bener Meriah dengan lahannya seluas 39.490 hektar dan petani Gayo Lues dengan lahan seluas 7.800 hektar. Total lahan tanaman kopi yang dimiliki oleh 66.101 KK petani di tiga kabupaten itu mencapai 95.520 hektar. Untuk setiap hektar, terdapat 1.300 tegakan pohon kopi dan pohon pelindung (lamtoro).

Dengan demikian, total tegakan pohon yang terdapat di ladang-ladang mereka sebanyak 95.520 x 1.300 = 124.176.000 pohon (tanaman kopi arabika dan lamtoro). Setiap pohon kopi dan lamtoro diperkirakan mampu menyimpan karbon sebanyak 25 ton/hektar/pertahun, maka estimasi serapan karbon oleh 124.176.000 batang pohon tersebut mencapai 2.382.250 ton CO2 per tahunnya. 

Itulah prestasi yang telah dicapai para petani kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo, disamping telah berhasil memasok devisa melalui ekspor kopi arabika Gayo. Bukankah sudah sepantasnya kita beri apresiasi kepada mereka? Bagaimana bentuk apresiasinya? Salah satunya dengan membeli atau mengkonsumsi produk kopi arabika Gayo yang kini telah memiliki sertifikat Indikasi Geografis.

Dengan demikian, secara tidak langsung kita telah mendorong mereka untuk terus menanam dan merawat tegakan pohon kopi. Jika semua lahan kritis telah mereka tanami dengan kopi dan lamtoro, selamatlah kawasan hutan kita. Kuncinya: mencintai produk dalam negeri berarti ikut mendukung kebangkitan bangsa.

Dua Mahasiswi Perancis Teliti Kopi Gayo

Setelah kopi arabika gayo (selanjutnya disebut kopi gayo) memperoleh sertifikat Indikasi Geografis (IG), popularitasnya terus melonjak. Peningkatan popularitas itu tidak terlepas dari besarnya peran media massa memblow-up kekuatan aroma dan cita rasa (flavour) serta kekentalan (body) kopi yang mendominasi permukaan tanah di Dataran Tinggi Gayo.

Salah satunya termasuk prestasi yang dicapai komoditi itu di ajang cupping test Lelang Kopi Special Indonesia di Bali 9-10 Oktober 2010 lalu, berhasil meraih skor tertinggi, 85,34. Sampai akhirnya satu lot (1 kontainer) kopi gayo yang dibawa pada lelang itu dimenangkan dengan penawaran tertinggi oleh TONY’S Coffee and Tea, roaster asal Amerika Serikat.

Laju popularitas kopi gayo di dunia perkopian internasional, sepertinya tak terhentikan lagi. Permintaan terhadap kopi gayo datang silih berganti dari sejumlah eksportir dalam dan luar negeri.

Sampai-sampai dua orang mahasiswi program S-2 dan S-3 asal Institut des Regions Chaudes Sup Agro Montpellier Prancis, Clara Durand dan Bigot Jeanne khusus datang ke Takengon bulan Agustus lalu untuk melakukan penelitian aspek-aspek indikasi geografis kopi gayo.

Disamping dua mahasiswi itu, juga ikut serta dalam penelitian itu adalah mahasiswa S-2 asal Lampung Indonesia yang juga kuliah di perguruan tinggi yang sama. Dia bernama Wagiono. Mereka merencanakan akan tinggal di rumah petani kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah untuk mengamati cara dan pola budidaya kopi arabika gayo.

Ketika ditanya tanggapannya tentang alam Indonesia, Bigot Jeanne sangat kagum dengan kesuburannya. Mereka sangat menyukai keindahan alamnya, apalagi di Takengon yang dilengkapi dengan sebuah danau berair jernih, Danau Laut Tawar. Para petaninya ramah-ramah dan informatif sehingga penelitiannya berjalan lancar. Mereka sangat berterima kasih atas dukungan dan bantuan para petani di daerah itu.

Sebenarnya mereka ingin tinggal lebih lama lagi di belantara Aceh itu, tapi visa mereka terbatas. Kini, mereka telah kembali ke negaranya untuk menyelesaikan penulisan hasil penelitian tentang kopi arabika gayo. Mereka berjanji, suatu saat akan kembali lagi ke Takengon, bisa sebagai turis atau melanjutkan penelitiannya. 

“Saya suka kopi gayo,” kata Bigot Jeanne dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah.

Peaberry si Kopi Rawan

Proses penggilingan buah ceri merah
Saat sebutir biji kopi dipetik dari batangnya, biasanya berisi dua ulas green bean. Namun, tidak mustahil jika isi sebutir biji kopi hanya berisi sebutir green bean. Petani kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah menyebut kopi berbiji tunggal itu sebagai “kopi rawan” atau “kopi lanang.” Bijinya mirip kacang polong yang oleh masyarakat internasional disebut peaberry coffee.
 
Peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember, Jawa Timur, Dr Ir Sri Mulato, MS, mengatakan kejadian biji tunggal pada kopi lanang bukan tanpa alasan. 

“Hal itu bisa terjadi karena anomali pembuahan. Hasilnya, lahirlah biji tunggal dan bersifat infertil,” kata Mulato.

Dari setiap batang, kopi biji tunggal ini hanya ditemukan sebanyak 10%, oleh karena tingginya tingkat kesulitan mengumpulkan biji kopi sehingga harganya lebih mahal daripada kopi berbuah normal. Green bean kopi tunggal jenis arabika ini dijual seharga Rp.90.000 per Kg, sementara green bean kopi arabika yang memiliki dua ruas seharga Rp. 55.000 per Kg.

Adalah Mursada M. Rasyid (30) seorang petani kopi arabika asal Kampung Tawarmiko Aceh Tengah yang serius menangani pengumpulan dan menyortir kopi tunggal itu. Saat ini dia mengaku memiliki stok sebanyak 28 Kg hasil sortiran dari kebunnya, termasuk hasil pembelian dari petani sekitarnya. Produk kopi penuh sensasi ini, dijualnya kepada seorang pengusaha coffee roaster di Jakarta.

Memang peaberry coffee belum seterkenal kopi luwak, antara lain karena belum ditemukan khasiatnya. Namun beberapa penikmat kopi sudah terlanjur jatuh cinta kepada kopi beruas tunggal ini. Salah seorang yang konsisten meminum peaberry coffee adalah Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh. Sampai-sampai pengusaha kopi dari Bergendaal Koffie Kabupaten Bener Meriah sempat kehabisan stok saat Gubernur Aceh memesan sebanyak 5 Kg sekaligus.

Bagi Mursada, ketertarikannya kepada peaberry coffee saat dia menemukan setumpuk sisa kotoran luwak di kebunnya. Saat ditelitinya, sebagian besar biji kopi yang dimakan luwak itu adalah kopi beruas tunggal. Ini yang menginspirasinya untuk mengumpulkan kopi ruas tunggal yang sekarang mulai dikenal konsumen sebagai kopi penuh sensasi.

Padahal, dahulunya kopi ini digolongkan sebagai “pesel” yaitu kopi rusak sehingga pedagang menolak membeli kopi yang berbodi kecil ini.  Kini, Mursada konsisten berkonsentrasi dalam mengumpulkan peaberry coffee. Meskipun harganya tidak sefantastis kopi luwak, dia sangat yakin bahwa ke depan akan memperoleh harga yang setara dengan kopi luwak.

Gaya Barista di Tanoh Gayo

Win Ruhdi di cafenya
Saat tulisan yang berjudul “[Dibawah Kuku Kapitalis] Secangkir Espresso Seharga 1 Kg Biji Kopi” menjadi headline (HL) Kompasiana tanggal 14 Nopember 2011 lalu, ternyata membawa berkah bagi Win Ruhdi (40), baik berbentuk komentar maupun meningkatnya jumlah pengunjung. Lumayan banyak komentar teman-teman di Facebook dan Twitter terhadap gambar Win Ruhdi yang tampil memegang biji kopi hasil roastingnya dengan jaket dan kain sarung terlilit di lehernya.

Kain sarung di leher, itu penampilan khas pemuda-pemuda di Tanoh Gayo Aceh Tengah. Berbeda dengan barista yang kita lihat di cafe-cafe internasional, tampil dengan pakaian rapi bahkan pakai celemek segala. Tetapi mantan jurnalis Kantor Berita Antara itu konsisten dengan kebersahajaan yang selama ini telah dilakoninya. 

“Mungkin penampilan seperti akan jadi ciri khas cafe ini.” katanya disela-sela melayani para pengopi.

Berkah yang didapat Win Ruhdi setelah tulisan tentang dirinya menjadi HL Kompasiana sungguh luar biasa. Kunjungan pelanggan ke cafe itu meningkat tajam, terutama teman-temannya yang selama ini belum tahu jika yang bersangkutan telah alih profesi menjadi seorang barista. 

Mereka memesan espresso dan cappucino sekaligus mendaftarkan diri menjadi member tetap cafe tersebut. Pengunjung dari luar daerah juga mengalami peningkatan, Beberapa diantara mereka mengaku mengetahui keberadaan cafe tersebut setelah membaca tulisan tentang Win Ruhdi di Kompasiana.

Menurut Win Ruhdi, akibat meningkatnya jumlah pengunjung, dia terpaksa memesan beberapa penyedia makanan dan cake untuk menempatkan kue-kue mereka di cafe itu. Kue-kue yang bertambah di sana, selain kripik juga terdapat donat, blackforest, bolu, dan pisang goreng panas. Kalau ingin makan, tersedia juga menu makanan khas Gayo seperti mujahir masam jing, ikan depik goreng dan pengat, termasuk ayam goreng khas batas kota.

Saya yang datang ke sana segera disuguhi secangkir cappucino, “ini gratis, karena tulisan bapak maka jumlah pengunjung cafe ini meningkat,” kata Win Ruhdi. Saya katakan, yang seharusnya mendapat sajian kopi gratis adalah admin Kompasiana, karena mereka yang angkat tulisan itu menjadi HL Kompasiana. 

“Kalau mereka datang ke Takengon, saya traktir mereka minum kopi di cafe ini, gratis!” jawab lelaki beranak empat itu.

Pikir-pikir, ternyata sebuah tulisan di Kompasiana berdampak kepada meningkatnya jumlah pelanggan cafe Win Ruhdi. Kompasiana sebagai sebuah media citizen jurnalistik banyak juga pembacanya, terbukti pengopi luar daerah mengetahui keberadaan cafe itu setelah membaca tulisan di kompasiana. Jangan-jangan Kompasiana pada akhirnya menjadi media iklan yang lebih efektif daripada situs berita online lainnya.

Secangkir Espresso Nyaris Seharga 1 Kg Green Bean

Secangkir espresso
Kopi, salah satu hasil bumi yang memberi kehidupan kepada puluhan ribu bahkan jutaan orang, mulai dari petani sampai kepada pengusaha cafe. Terdapat dua jenis kopi yang sangat terkenal di dunia saat ini, ada robusta (biji kecil) dan ada juga arabika (biji besar). 

Rasa kedua jenis kopi ini sangat berbeda, robusta yang kadar kafeinnya lebih tinggi tetapi rasanya sedikit hambar dan aromanya kurang tajam. Sebaliknya, kadar kafein kopi arabika setengah dari kopi robusta tetapi memiliki aroma yang tajam dan lebih terasa kopinya.
 
Orang awam menganggap bahwa kadar kafein kopi arabika lebih tinggi dari kopi robusta karena persoalan rasa tadi. Kalau ingin mencoba rasa kopi arabika, coba dipesan secangkir espresso di cafe Starbucks atau cafe-cafe internasional lainnya. Hirup dan nikmati, rasakan bedanya.

Perkembangan kopi robusta terkonsentrasi di wilayah Lampung dan pulau Jawa, sementara kopi arabika terkonsentrasi di Tanoh Gayo Aceh, Kintamani Bali, Toraja Sulsel, dan Sidikalang Sumut. Permintaan pasar internasional cukup tinggi untuk kedua jenis kopi itu, bahkan para petani kesulitan memenuhi permintaan itu. Pada akhirnya, harga jual ditingkat petani terus naik, tetapi permintaanpun makin meningkat.

Adalah kisah Win Ruhdi Bathin (40) seorang petani kopi asal Kampung Paya Serngi Kebayakan yang selama ini konsisten membudidayakan kopi arabika di lahan yang luasnya sekitar 2 hektar. Kini, lelaki beranak 4 itu hijrah menjadi seorang roaster dan barista di Takengon Aceh Tengah. 

Dia membuka sebuah korner di Cafe Batas Kota Takengon yang jaraknya sekitar 1 Km dari rumahnya. Cafe sederhana itu mendapat kunjungan banyak penikmat kopi dari luar daerah. Salah seorang yang pernah mampir ke cafe-nya adalah Adi W. Taroepratjeka, pembawa acara Coffee di Kompas TV. Kata Adi, kopi arabika di cafe tersebut memiliki rasa yang luar biasa sambil menunjukkan beberapa cara mengoperasionalkan mesin espresso.

Sebagai petani kopi, sebenarnya lelaki yang pernah jadi jurnalis di Kantor Berita Antara itu sudah cukup mapan dengan penghasilannya yang mencapai Rp 18 juta sekali panen, ditambah penghasilan tambahan dari komoditi hortikultura. Namun kemapanan itu sirna saat mengetahui bahwa kopi petani dihargai sangat rendah dibandingkan harga secangkir espresso di cafe-cafe internasional. “Saya sangat terenyuh,” katanya.

Dia bertutur, pernah suatu hari minum secangkir espresso di sebuah cafe internasional yang bahan baku kopinya berasal dari Takengon Aceh. Di cafe itu, harga secangkir espresso Rp 36.000 per cangkir, padahal dia baru menjual kopi green bean (kopi biji) seharga Rp 55.000 per Kg. Untuk diketahui, secangkir espresso hanya memerlukan bahan baku kopi sebanyak 10 gram.

Win Ruhdi tercenung lama di cafe internasional itu, sembari membayangkan ketidakberdayaan petani di daerahnya menghadapi cengkeraman kuku kapitalis. Harga sekilo kopi biji yang dirawat petani selama setahun hanya diberi harga Rp. 55.000 per Kg. Begitu sampai di tangan para kapitalis nilainya menjadi mahal, untuk 10 gram saja harus dibayar Rp.36.000. 

Naluri jurnalistiknya menggiringnya untuk mencari informasi tentang mesin roasting dan mesin espresso. Dia bertekad, bagaimana supaya petani kopi di Tanoh Gayo Aceh Tengah bukan hanya menjual bahan mentah, tetapi harus menjual bahan setengah jadi berbentuk biji kopi yang telah diroasting.

Tekad bulat melahirkan perbuatan nyata, itu mottonya. Hasil perenungan dan penelusuran informasi tentang coffee roasted dan mesin espresso, membulatkan tekadnya untuk menjual 7 ekor sapi yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya. Hasil penjualan sapi itu, dibelinya 2 unit mesin espresso (manual dan matic) sekaligus mengikuti esperto barista course selama 3 hari di Jakarta. 

Dia lulus, memperoleh sertifikat yang ditandatangani oleh Franky Angkawijaya selaku trainer. Tepat tanggal 23 Maret 2011, dia melaunching cafe sederhana yang mengambil salah satu corner di Cafe Batas Kota, Paya Tumpi Takengon.

Kini, Win Ruhdi menjadi pelopor usaha pengembangan coffee roasted di Tanoh Gayo. Jejaknya mulai diikuti sejumlah anak-anak muda dan petani kopi yang pelan-pelan beralih menjadi coffee roaster. 

Di cafenya yang buka sejak pukul 08.00-23.00 WIB, Win Ruhdi menyediakan berbagai minuman yang diracik dari bahan baku kopi arabika asli Tanoh Gayo. Untuk secangkir espresso dihargainya Rp.6000, secangkir cappucino Rp.11.000, cafelate Rp.14.000 secangkir, dan black coffee Rp.7000 secangkir. 

Sehari, dia mampu meraup keuntungan bersih rata-rata sebesar Rp.150.000.  ”Saya ingin keluar dari cengkeraman kuku kapitalis, makanya saya berusaha belajar meroasting kopi sendiri dan mengajarkannya kepada petani yang lain,” ungkap alumni Unisba itu.