Minggu, 14 Desember 2014

Demi Kualitas, Boss Ikut Sortir Kopi

Boss Bergendhaal Koffie ikut menyortir kopi
Pandangan orang pada umumnya bahwa seorang boss selalu diimajinasikan sebagai seseorang yang berada dibelakang sebuah meja mewah. Dengan meja yang sedemikian itu, dianggap orang yang berada dibelakang meja itu memiliki wibawa. Mungkin asumsi meja mewah terkait dengan wibawa cocok ditujukan kepada pejabat politik atau birokrasi, meskipun keberadaannya dibelakang meja itu dalam posisi sebagai “buruh rakyat.”

Tempat kerja atau biasa disebut kantor, barangkali bisa berbeda antara satu profesi dengan profesi yang lain. Bagi seorang politisi dan pejabat negara (birokrasi), kantornya berada dalam sebuah gedung yang dibangun oleh negara. Sebaliknya, bagi seorang usahawan, kantornya bisa juga berada dalam sebuah gedung, namun tidak jarang berada di sebuah gudang kumuh.

Dari gudang kumuh itu proses produksi berlangsung. Kemudian, proses produksi itu memberi lapangan kerja kepada sejumlah orang. Fakta itulah yang dibuktikan oleh boss Bergendaal Koffie, sebuah perusahaan yang mengelola cafe dan industri pengolahan kopi arabika. Haji Yusrin selaku boss usaha pengolahan kopi ini tidak berkantor dalam sebuah ruang mewah dengan meja berkilau, tetapi dia memimpin perusahaannya dari sebuah meja sortasi.

Meja sortasi merupakan sebuah meja kayu ukuran 60×120 cm yang digunakan untuk menyortir biji kopi yang baru dipetik oleh para petani. Setiap pagi sampai sore hari, boss Bergendaal Koffie itu duduk dibelakang meja sortir ditemani secangkir espresso. Dengan suasana riang, dia melakukan pemisahan biji kopi yang masak sempurna dengan biji yang masih hijau atau setengah masak.

Aktivitas ini terpaksa dilakukan sendiri oleh seorang boss karena dia ingin memastikan bahan baku kopi arabika yang akan dijadikan coffee roasted nantinya, bebas cacat dan 100% sempurna. Menurut pengalamannya, dari bahan baku kopi arabika yang masak sempurna akan menghasilkan bubuk kopi yang kaya cita rasa dan aroma. Pekerjaan menyortir bahan baku sampai menghasilkan green bean tetap dilakukannya sendiri. Soalnya, jika salah menyortir akan menghasilkan coffee roasted yang cacat rasa.

Haji Yusrin, seorang pensiunan yang memiliki sepetak kebun kopi di Desa Simpang Teritit Kabupaten Bener Meriah Aceh. Seiring dengan tingginya permintaan coffee roasted, kini dia telah beralih profesi menjadi seorang peracik kopi arabika Gayo. Produknya dikenal dengan merek Bergendaal Koffie. Dengan standar cita rasa yang konsisten, produk coffee roasted menjadi bahan baku untuk Borbon Cafe di Lhokseumawe, Rully Cafe Kiliranjao Sumbar dan Coffee d’Aceh di Cimanggu Bogor.

Produk coffee roasted Haji Yusrin juga diorder oleh beberapa cafe di Langsa, Banda Aceh, Medan, Batam, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Menurut Haji Yusrin, setiap minggu dia memasok 20 Kg coffee roasted ke Kuala Lumpur. Seorang pengusaha cafe dari Jepang meminta Haji Yusrin menyediakan 6 ton coffee roasted, namun belum mampu dipenuhi karena petani belum panen. 

“Stok biji kopi green bean yang tersedia di gudang hanya sebanyak 2,5 ton,” ungkap Haji Yusrin.

Kemampuan produksi coffee roasted dari industri Haji Yusrin hanya sebanyak 50 kg per hari, karena masih tergolong industri rumah tangga. Namun omsetnya per bulan mencapai Rp.500 juta. Dengan omset yang lumayan besar ini, dia mampu menggaji beberapa orang tenaga kerja.

Pastinya, usaha coffee roasted milik Haji Yusrin telah berhasil menampung sebanyak 10 orang tenaga kerja, dan nilai jual kopi ditingkat petani secara otomatis naik. 

“Usaha ini awalnya untuk menampung produk kopi keluarga, alhamdulillah sekarang sudah mampu menampung kopi para petani di Desa ini,” jelas pelopor usaha coffee roasted di Bener Meriah dan Aceh Tengah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar