Setelah kopi arabika gayo (selanjutnya disebut kopi gayo) memperoleh
sertifikat Indikasi Geografis (IG), popularitasnya terus melonjak.
Peningkatan popularitas itu tidak terlepas dari besarnya peran media
massa memblow-up kekuatan aroma dan cita rasa (flavour) serta kekentalan
(body) kopi yang mendominasi permukaan tanah di Dataran Tinggi Gayo.
Salah satunya termasuk prestasi yang dicapai komoditi itu di ajang
cupping test Lelang Kopi Special Indonesia di Bali 9-10 Oktober 2010
lalu, berhasil meraih skor tertinggi, 85,34. Sampai akhirnya satu lot (1
kontainer) kopi gayo yang dibawa pada lelang itu dimenangkan dengan
penawaran tertinggi oleh TONY’S Coffee and Tea, roaster asal Amerika
Serikat.
Laju popularitas kopi gayo di dunia perkopian internasional, sepertinya
tak terhentikan lagi. Permintaan terhadap kopi gayo datang silih
berganti dari sejumlah eksportir dalam dan luar negeri.
Sampai-sampai
dua orang mahasiswi program S-2 dan S-3 asal Institut des Regions
Chaudes Sup Agro Montpellier Prancis, Clara Durand dan Bigot Jeanne
khusus datang ke Takengon bulan Agustus lalu untuk melakukan penelitian
aspek-aspek indikasi geografis kopi gayo.
Disamping dua mahasiswi itu, juga ikut serta dalam penelitian itu adalah
mahasiswa S-2 asal Lampung Indonesia yang juga kuliah di perguruan
tinggi yang sama. Dia bernama Wagiono. Mereka merencanakan akan tinggal
di rumah petani kopi di Aceh Tengah dan Bener Meriah untuk mengamati
cara dan pola budidaya kopi arabika gayo.
Ketika ditanya tanggapannya tentang alam Indonesia, Bigot Jeanne sangat
kagum dengan kesuburannya. Mereka sangat menyukai keindahan alamnya,
apalagi di Takengon yang dilengkapi dengan sebuah danau berair jernih,
Danau Laut Tawar. Para petaninya ramah-ramah dan informatif sehingga
penelitiannya berjalan lancar. Mereka sangat berterima kasih atas
dukungan dan bantuan para petani di daerah itu.
Sebenarnya mereka ingin tinggal lebih lama lagi di belantara Aceh itu,
tapi visa mereka terbatas. Kini, mereka telah kembali ke negaranya untuk
menyelesaikan penulisan hasil penelitian tentang kopi arabika gayo.
Mereka berjanji, suatu saat akan kembali lagi ke Takengon, bisa sebagai
turis atau melanjutkan penelitiannya.
“Saya suka kopi gayo,” kata Bigot
Jeanne dengan bahasa Indonesia yang terpatah-patah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar