![]() |
Win Ruhdi di cafenya |
Saat tulisan yang berjudul “[Dibawah Kuku Kapitalis] Secangkir Espresso Seharga 1 Kg Biji Kopi” menjadi
headline (HL) Kompasiana tanggal 14 Nopember 2011 lalu, ternyata
membawa berkah bagi Win Ruhdi (40), baik berbentuk komentar maupun
meningkatnya jumlah pengunjung. Lumayan banyak komentar teman-teman di
Facebook dan Twitter terhadap gambar Win Ruhdi yang tampil memegang biji
kopi hasil roastingnya dengan jaket dan kain sarung terlilit di
lehernya.
Kain sarung di leher, itu penampilan khas pemuda-pemuda di Tanoh Gayo
Aceh Tengah. Berbeda dengan barista yang kita lihat di cafe-cafe
internasional, tampil dengan pakaian rapi bahkan pakai celemek
segala. Tetapi mantan jurnalis Kantor Berita Antara itu konsisten dengan
kebersahajaan yang selama ini telah dilakoninya.
“Mungkin penampilan
seperti akan jadi ciri khas cafe ini.” katanya disela-sela melayani para
pengopi.
Berkah yang didapat Win Ruhdi setelah tulisan tentang dirinya menjadi HL
Kompasiana sungguh luar biasa. Kunjungan pelanggan ke cafe itu
meningkat tajam, terutama teman-temannya yang selama ini belum tahu jika
yang bersangkutan telah alih profesi menjadi seorang barista.
Mereka
memesan espresso dan cappucino sekaligus mendaftarkan diri menjadi
member tetap cafe tersebut. Pengunjung dari luar daerah juga mengalami
peningkatan, Beberapa diantara mereka mengaku mengetahui keberadaan cafe
tersebut setelah membaca tulisan tentang Win Ruhdi di Kompasiana.
Menurut Win Ruhdi, akibat meningkatnya jumlah pengunjung, dia terpaksa
memesan beberapa penyedia makanan dan cake untuk menempatkan kue-kue
mereka di cafe itu. Kue-kue yang bertambah di sana, selain kripik juga
terdapat donat, blackforest, bolu, dan pisang goreng panas. Kalau ingin
makan, tersedia juga menu makanan khas Gayo seperti mujahir masam jing,
ikan depik goreng dan pengat, termasuk ayam goreng khas batas kota.
Saya yang datang ke sana segera disuguhi secangkir cappucino,
“ini gratis, karena tulisan bapak maka jumlah pengunjung cafe ini
meningkat,” kata Win Ruhdi. Saya katakan, yang seharusnya mendapat
sajian kopi gratis adalah admin Kompasiana, karena mereka yang angkat
tulisan itu menjadi HL Kompasiana.
“Kalau mereka datang ke Takengon,
saya traktir mereka minum kopi di cafe ini, gratis!” jawab lelaki
beranak empat itu.
Pikir-pikir, ternyata sebuah tulisan di Kompasiana berdampak kepada
meningkatnya jumlah pelanggan cafe Win Ruhdi. Kompasiana sebagai sebuah
media citizen jurnalistik banyak juga pembacanya, terbukti pengopi luar
daerah mengetahui keberadaan cafe itu setelah membaca tulisan di
kompasiana. Jangan-jangan Kompasiana pada akhirnya menjadi media iklan
yang lebih efektif daripada situs berita online lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar