Minggu, 14 Desember 2014

Gaya Barista di Tanoh Gayo

Win Ruhdi di cafenya
Saat tulisan yang berjudul “[Dibawah Kuku Kapitalis] Secangkir Espresso Seharga 1 Kg Biji Kopi” menjadi headline (HL) Kompasiana tanggal 14 Nopember 2011 lalu, ternyata membawa berkah bagi Win Ruhdi (40), baik berbentuk komentar maupun meningkatnya jumlah pengunjung. Lumayan banyak komentar teman-teman di Facebook dan Twitter terhadap gambar Win Ruhdi yang tampil memegang biji kopi hasil roastingnya dengan jaket dan kain sarung terlilit di lehernya.

Kain sarung di leher, itu penampilan khas pemuda-pemuda di Tanoh Gayo Aceh Tengah. Berbeda dengan barista yang kita lihat di cafe-cafe internasional, tampil dengan pakaian rapi bahkan pakai celemek segala. Tetapi mantan jurnalis Kantor Berita Antara itu konsisten dengan kebersahajaan yang selama ini telah dilakoninya. 

“Mungkin penampilan seperti akan jadi ciri khas cafe ini.” katanya disela-sela melayani para pengopi.

Berkah yang didapat Win Ruhdi setelah tulisan tentang dirinya menjadi HL Kompasiana sungguh luar biasa. Kunjungan pelanggan ke cafe itu meningkat tajam, terutama teman-temannya yang selama ini belum tahu jika yang bersangkutan telah alih profesi menjadi seorang barista. 

Mereka memesan espresso dan cappucino sekaligus mendaftarkan diri menjadi member tetap cafe tersebut. Pengunjung dari luar daerah juga mengalami peningkatan, Beberapa diantara mereka mengaku mengetahui keberadaan cafe tersebut setelah membaca tulisan tentang Win Ruhdi di Kompasiana.

Menurut Win Ruhdi, akibat meningkatnya jumlah pengunjung, dia terpaksa memesan beberapa penyedia makanan dan cake untuk menempatkan kue-kue mereka di cafe itu. Kue-kue yang bertambah di sana, selain kripik juga terdapat donat, blackforest, bolu, dan pisang goreng panas. Kalau ingin makan, tersedia juga menu makanan khas Gayo seperti mujahir masam jing, ikan depik goreng dan pengat, termasuk ayam goreng khas batas kota.

Saya yang datang ke sana segera disuguhi secangkir cappucino, “ini gratis, karena tulisan bapak maka jumlah pengunjung cafe ini meningkat,” kata Win Ruhdi. Saya katakan, yang seharusnya mendapat sajian kopi gratis adalah admin Kompasiana, karena mereka yang angkat tulisan itu menjadi HL Kompasiana. 

“Kalau mereka datang ke Takengon, saya traktir mereka minum kopi di cafe ini, gratis!” jawab lelaki beranak empat itu.

Pikir-pikir, ternyata sebuah tulisan di Kompasiana berdampak kepada meningkatnya jumlah pelanggan cafe Win Ruhdi. Kompasiana sebagai sebuah media citizen jurnalistik banyak juga pembacanya, terbukti pengopi luar daerah mengetahui keberadaan cafe itu setelah membaca tulisan di kompasiana. Jangan-jangan Kompasiana pada akhirnya menjadi media iklan yang lebih efektif daripada situs berita online lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar