Sekitar Juli 2011 lalu, aku dan beberapa teman berkesempatan meninjau
sebuah coffee factory di Jalan Pulau Moyo Denpasar Bali. Meskipun berada
dalam kota Denpasar, mencari jalan Pulau Moyo sedikit sulit dan harus
bertanya sampai lima kali. Letaknya memang sedikit di dalam, dan nama
jalan ini tidak se familiar nama jalan Kuta atau nama jalan Ngurah Rai.
Setelah beberapa kali tersesat, akhirnya kami sampai
di depan pintu besi yang tertutup rapat dengan pagar tembok setinggi dua
setengah meter. Dari luar, sedikitpun tidak terkesan kalau gedung
didalamnya adalah sebuah pabrik. Dalam pikiranku, kompleks itu hanyalah
semacam industri rumah tangga dengan beberapa orang pekerja.
Seorang satpam melongok dari jendela kecil dan
menanyakan maksud kedatangan kami. Aku katakan, bahwa kami sudah janji
dengan pemilik pabrik yang bernama Wirawan Tjahjadi. Kurang dari lima
menit menunggu, satpam tadi mempersilakan kami masuk. Dengan ramah, dia
mengantar kami ke ruang tunggu. Saat melangkahkan kaki dalam kompleks
pabrik, aku tercengang melihat lokasi pabrik yang begitu luas yang
dipenuhi dengan beberapa bangunan panjang berbentuk gudang.
Tidak lama kemudian, seorang anak muda berkaos biru,
bercelana tanggung, memakai topi pet dan sepatu kets dengan rambut
panjang berjuntai dibahunya. Dia memperkenalkan diri sebagai Wirawan
Tjahjadi, owner Kopi Bali House dan PT. Putra Bhineka Perkasa. Wirawan
menyalami kami satu persatu, dan kemudian mengajak kami untuk
berkeliling melihat pabriknya. Nyentrik juga boss ini, desahku.
Dari semua yang ditunjukkan oleh Wirawan Tjahjadi,
bagiku sudah menjadi sesuatu yang biasa. Apalagi saat dia memperkenalkan
biji kopi yang menggunung di gudangnya, serta tanaman kopi arabica dan
robusta. Kedua jenis tanaman ini sangat banyak terdapat di daerahku,
apalagi tanaman kopi arabica yang terhampar di areal 48.000 hektar.
Namun, saat dia membawa kami ke “museum” nya, aku
benar-benar terkesima. Dalam “museum” itu kulihat potongan batang kopi,
alat sangrai kopi tradisional, alat grinder lama, dan berbagai
peninggalan industri pengolahan kopi. Sesuatu yang membuat aku berdiri
lama di “museum” itu, ketika kusaksikan sebuah lukisan kepala harimau
yang dibuat dari ampas bubuk kopi.
“Mungkinkah ini dari ampas bubuk kopi,” bisikku. Rupanya Wirawan
Tjahjadi mendengarnya, dia menyatakan bahan lukisan itu 100% dari ampas
bubuk kopi. Aku tidak yakin, kuraba permukaan kanvas itu, terasa kasar.
Aku dekatkan pandangan untuk memperhatikan material yang digunakan di
permukaan kanvas itu, benar memang dari ampas bubuk kopi. Wow…fantastis,
teriakku tanpa sadar.
Disamping kiri lukisan kepala harimau, terpajang juga
sebuah lukisan wanita Bali yang juga dibuat dari ampas bubuk kopi.
Wah, ini luar biasa kreatifnya, ternyata kopi bukan hanya untuk diminum,
ampasnya juga bisa dimanfaatkan untuk membuat lukisan yang cukup
artistik.
“Ampas kopi juga bisa digunakan untuk bahan luluran,” kata
Wirawan sambil mengajak kami masuk ke laboratoriumnya untuk
memperlihatkan bahan luluran itu.
Tetapi aku yang masih terkesima di depan lukisan
kepala harimau itu tidak juga beranjak. Kupotret lukisan itu
berkali-kali sebagai bahan perbandingan bagi petani di daerahku. Aku
ingin memperlihatkan kepada mereka bahwa dari ampas kopi bisa dibuat
karya seni. Sebagaimana kata orang bijak, kreativitas tidak mengenal
batas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar