Minggu, 14 Desember 2014

Secangkir Espresso Nyaris Seharga 1 Kg Green Bean

Secangkir espresso
Kopi, salah satu hasil bumi yang memberi kehidupan kepada puluhan ribu bahkan jutaan orang, mulai dari petani sampai kepada pengusaha cafe. Terdapat dua jenis kopi yang sangat terkenal di dunia saat ini, ada robusta (biji kecil) dan ada juga arabika (biji besar). 

Rasa kedua jenis kopi ini sangat berbeda, robusta yang kadar kafeinnya lebih tinggi tetapi rasanya sedikit hambar dan aromanya kurang tajam. Sebaliknya, kadar kafein kopi arabika setengah dari kopi robusta tetapi memiliki aroma yang tajam dan lebih terasa kopinya.
 
Orang awam menganggap bahwa kadar kafein kopi arabika lebih tinggi dari kopi robusta karena persoalan rasa tadi. Kalau ingin mencoba rasa kopi arabika, coba dipesan secangkir espresso di cafe Starbucks atau cafe-cafe internasional lainnya. Hirup dan nikmati, rasakan bedanya.

Perkembangan kopi robusta terkonsentrasi di wilayah Lampung dan pulau Jawa, sementara kopi arabika terkonsentrasi di Tanoh Gayo Aceh, Kintamani Bali, Toraja Sulsel, dan Sidikalang Sumut. Permintaan pasar internasional cukup tinggi untuk kedua jenis kopi itu, bahkan para petani kesulitan memenuhi permintaan itu. Pada akhirnya, harga jual ditingkat petani terus naik, tetapi permintaanpun makin meningkat.

Adalah kisah Win Ruhdi Bathin (40) seorang petani kopi asal Kampung Paya Serngi Kebayakan yang selama ini konsisten membudidayakan kopi arabika di lahan yang luasnya sekitar 2 hektar. Kini, lelaki beranak 4 itu hijrah menjadi seorang roaster dan barista di Takengon Aceh Tengah. 

Dia membuka sebuah korner di Cafe Batas Kota Takengon yang jaraknya sekitar 1 Km dari rumahnya. Cafe sederhana itu mendapat kunjungan banyak penikmat kopi dari luar daerah. Salah seorang yang pernah mampir ke cafe-nya adalah Adi W. Taroepratjeka, pembawa acara Coffee di Kompas TV. Kata Adi, kopi arabika di cafe tersebut memiliki rasa yang luar biasa sambil menunjukkan beberapa cara mengoperasionalkan mesin espresso.

Sebagai petani kopi, sebenarnya lelaki yang pernah jadi jurnalis di Kantor Berita Antara itu sudah cukup mapan dengan penghasilannya yang mencapai Rp 18 juta sekali panen, ditambah penghasilan tambahan dari komoditi hortikultura. Namun kemapanan itu sirna saat mengetahui bahwa kopi petani dihargai sangat rendah dibandingkan harga secangkir espresso di cafe-cafe internasional. “Saya sangat terenyuh,” katanya.

Dia bertutur, pernah suatu hari minum secangkir espresso di sebuah cafe internasional yang bahan baku kopinya berasal dari Takengon Aceh. Di cafe itu, harga secangkir espresso Rp 36.000 per cangkir, padahal dia baru menjual kopi green bean (kopi biji) seharga Rp 55.000 per Kg. Untuk diketahui, secangkir espresso hanya memerlukan bahan baku kopi sebanyak 10 gram.

Win Ruhdi tercenung lama di cafe internasional itu, sembari membayangkan ketidakberdayaan petani di daerahnya menghadapi cengkeraman kuku kapitalis. Harga sekilo kopi biji yang dirawat petani selama setahun hanya diberi harga Rp. 55.000 per Kg. Begitu sampai di tangan para kapitalis nilainya menjadi mahal, untuk 10 gram saja harus dibayar Rp.36.000. 

Naluri jurnalistiknya menggiringnya untuk mencari informasi tentang mesin roasting dan mesin espresso. Dia bertekad, bagaimana supaya petani kopi di Tanoh Gayo Aceh Tengah bukan hanya menjual bahan mentah, tetapi harus menjual bahan setengah jadi berbentuk biji kopi yang telah diroasting.

Tekad bulat melahirkan perbuatan nyata, itu mottonya. Hasil perenungan dan penelusuran informasi tentang coffee roasted dan mesin espresso, membulatkan tekadnya untuk menjual 7 ekor sapi yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya. Hasil penjualan sapi itu, dibelinya 2 unit mesin espresso (manual dan matic) sekaligus mengikuti esperto barista course selama 3 hari di Jakarta. 

Dia lulus, memperoleh sertifikat yang ditandatangani oleh Franky Angkawijaya selaku trainer. Tepat tanggal 23 Maret 2011, dia melaunching cafe sederhana yang mengambil salah satu corner di Cafe Batas Kota, Paya Tumpi Takengon.

Kini, Win Ruhdi menjadi pelopor usaha pengembangan coffee roasted di Tanoh Gayo. Jejaknya mulai diikuti sejumlah anak-anak muda dan petani kopi yang pelan-pelan beralih menjadi coffee roaster. 

Di cafenya yang buka sejak pukul 08.00-23.00 WIB, Win Ruhdi menyediakan berbagai minuman yang diracik dari bahan baku kopi arabika asli Tanoh Gayo. Untuk secangkir espresso dihargainya Rp.6000, secangkir cappucino Rp.11.000, cafelate Rp.14.000 secangkir, dan black coffee Rp.7000 secangkir. 

Sehari, dia mampu meraup keuntungan bersih rata-rata sebesar Rp.150.000.  ”Saya ingin keluar dari cengkeraman kuku kapitalis, makanya saya berusaha belajar meroasting kopi sendiri dan mengajarkannya kepada petani yang lain,” ungkap alumni Unisba itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar