![]() |
Secangkir espresso |
Kopi, salah satu hasil bumi yang memberi kehidupan kepada puluhan
ribu bahkan jutaan orang, mulai dari petani sampai kepada pengusaha
cafe. Terdapat dua jenis kopi yang sangat terkenal di dunia saat ini,
ada robusta (biji kecil) dan ada juga arabika (biji besar).
Rasa kedua
jenis kopi ini sangat berbeda, robusta yang kadar kafeinnya lebih tinggi
tetapi rasanya sedikit hambar dan aromanya kurang tajam. Sebaliknya,
kadar kafein kopi arabika setengah dari kopi robusta tetapi memiliki
aroma yang tajam dan lebih terasa kopinya.
Orang awam menganggap bahwa kadar kafein kopi arabika lebih tinggi dari
kopi robusta karena persoalan rasa tadi. Kalau ingin mencoba rasa kopi
arabika, coba dipesan secangkir espresso di cafe Starbucks atau
cafe-cafe internasional lainnya. Hirup dan nikmati, rasakan bedanya.
Perkembangan kopi robusta terkonsentrasi di wilayah Lampung dan pulau
Jawa, sementara kopi arabika terkonsentrasi di Tanoh Gayo Aceh,
Kintamani Bali, Toraja Sulsel, dan Sidikalang Sumut. Permintaan pasar
internasional cukup tinggi untuk kedua jenis kopi itu, bahkan para
petani kesulitan memenuhi permintaan itu. Pada akhirnya, harga jual
ditingkat petani terus naik, tetapi permintaanpun makin meningkat.
Adalah kisah Win Ruhdi Bathin (40) seorang petani kopi asal Kampung Paya
Serngi Kebayakan yang selama ini konsisten membudidayakan kopi arabika
di lahan yang luasnya sekitar 2 hektar. Kini, lelaki beranak 4 itu
hijrah menjadi seorang roaster dan barista di Takengon Aceh Tengah.
Dia
membuka sebuah korner di Cafe Batas Kota Takengon yang jaraknya sekitar 1
Km dari rumahnya. Cafe sederhana itu mendapat kunjungan banyak penikmat
kopi dari luar daerah. Salah seorang yang pernah mampir ke cafe-nya
adalah Adi W. Taroepratjeka, pembawa acara Coffee di Kompas TV. Kata
Adi, kopi arabika di cafe tersebut memiliki rasa yang luar biasa sambil
menunjukkan beberapa cara mengoperasionalkan mesin espresso.
Sebagai petani kopi, sebenarnya lelaki yang pernah jadi jurnalis di
Kantor Berita Antara itu sudah cukup mapan dengan penghasilannya yang
mencapai Rp 18 juta sekali panen, ditambah penghasilan tambahan dari
komoditi hortikultura. Namun kemapanan itu sirna saat mengetahui bahwa
kopi petani dihargai sangat rendah dibandingkan harga secangkir espresso
di cafe-cafe internasional. “Saya sangat terenyuh,” katanya.
Dia bertutur, pernah suatu hari minum secangkir espresso di sebuah cafe
internasional yang bahan baku kopinya berasal dari Takengon Aceh. Di
cafe itu, harga secangkir espresso Rp 36.000 per cangkir, padahal dia
baru menjual kopi green bean (kopi biji) seharga Rp 55.000 per Kg. Untuk
diketahui, secangkir espresso hanya memerlukan bahan baku kopi sebanyak
10 gram.
Win Ruhdi tercenung lama di cafe internasional itu, sembari membayangkan
ketidakberdayaan petani di daerahnya menghadapi cengkeraman kuku
kapitalis. Harga sekilo kopi biji yang dirawat petani selama setahun
hanya diberi harga Rp. 55.000 per Kg. Begitu sampai di tangan para
kapitalis nilainya menjadi mahal, untuk 10 gram saja harus dibayar
Rp.36.000.
Naluri jurnalistiknya menggiringnya untuk mencari informasi
tentang mesin roasting dan mesin espresso. Dia bertekad, bagaimana
supaya petani kopi di Tanoh Gayo Aceh Tengah bukan hanya menjual bahan
mentah, tetapi harus menjual bahan setengah jadi berbentuk biji kopi
yang telah diroasting.
Tekad bulat melahirkan perbuatan nyata, itu mottonya. Hasil perenungan
dan penelusuran informasi tentang coffee roasted dan mesin espresso,
membulatkan tekadnya untuk menjual 7 ekor sapi yang selama ini menjadi
tumpuan hidupnya. Hasil penjualan sapi itu, dibelinya 2 unit mesin
espresso (manual dan matic) sekaligus mengikuti esperto barista course
selama 3 hari di Jakarta.
Dia lulus, memperoleh sertifikat yang
ditandatangani oleh Franky Angkawijaya selaku trainer. Tepat tanggal 23
Maret 2011, dia melaunching cafe sederhana yang mengambil salah satu
corner di Cafe Batas Kota, Paya Tumpi Takengon.
Kini, Win Ruhdi menjadi pelopor usaha pengembangan coffee roasted di
Tanoh Gayo. Jejaknya mulai diikuti sejumlah anak-anak muda dan petani
kopi yang pelan-pelan beralih menjadi coffee roaster.
Di cafenya yang
buka sejak pukul 08.00-23.00 WIB, Win Ruhdi menyediakan berbagai minuman
yang diracik dari bahan baku kopi arabika asli Tanoh Gayo. Untuk
secangkir espresso dihargainya Rp.6000, secangkir cappucino Rp.11.000,
cafelate Rp.14.000 secangkir, dan black coffee Rp.7000 secangkir.
Sehari, dia mampu meraup keuntungan bersih rata-rata sebesar Rp.150.000.
”Saya ingin keluar dari cengkeraman kuku kapitalis, makanya saya
berusaha belajar meroasting kopi sendiri dan mengajarkannya kepada
petani yang lain,” ungkap alumni Unisba itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar