![]() |
Warung kopi tradisional di Takengon |
Di Aceh, tradisi minum kopi, makan yang dilanjutkan dengan ngobrol
di warung kopi, bukanlah sebuah kebiasaan baru yang muncul akhir-akhir
ini. Kebiasaan itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu,
terutama di kawasan pelabuhan dan pusat perdagangan. Meski pada saat
itu sangat mungkin minumannya bukan kopi, tetapi kebiasaan nongkrong dan ngobrol utk “membunuh” waktu sudah berlangsung turun temurun.
Lombard (2008:76) menulis bahwa Peter Mundy pada
April 1637 dengan susah payah berhasil mencapai tempat berlabuh di
Aceh. Peter Mundy memberitakan bahwa ada yang menjual telur penyu
rebus. Warung-warung mereka masing-masing dipungut bea sekeping emas
sebulan untuk orang kaya Sri Maharaja.
Untuk sementara, catatan Peter Mundy pada April 1637
itu setidak-tidaknya bisa dijadikan dasar keberadaan sebuah ruang
publik yang dikenal dengan warung (rumah makan) di wilayah Aceh.
Catatan ini boleh jadi telah “mematahkan” sejumlah asumsi yang
menyatakan keberadaan dan kebiasaan makan minum di warung muncul
setelah Belanda “mengajarkan” tradisi minum kopi.
Memang, dan diakui bahwa Belanda mempunyai peran
penting dalam membudidayakan tanaman kopi di Indonesia. Mereka telah
memperkenalkan tanaman Kopi Arabika (coffea arabica L.) di
Pulau Jawa pada tahun 1699. Di Aceh, tepatnya di Dataran Tinggi Gayo
Aceh Tengah, mereka mulai membangun perkebunan Kopi Arabika pada tahun
1924 di daerah Paya Tumpi. Kini, Dataran Tinggi Gayo yang meliputi
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah secara nasional menjadi kawasan
tanaman kopi Arabika terluas di Indonesia.
Menilik keberadaan dan fungsi warung kopi di Aceh, pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan fungsi lapau
di Sumatera Barat. Menurut Pandoe dan Pour (2010:256) bahwa fungsi
lapau menjadi pusat informasi. Sesama pengunjung lapau mengobrol soal
macam-macam hal, mulai kehidupan sosial sampai “politik tinggi” dalam
dan luar negeri. Bisa juga mempergunjingkan para pejabat, menganalisis
sepakbola, atau membicarakan sinetron yang mereka tonton di televisi.
Interaksi manusia di lapau seperti yang ditulis
Pandoe dan Pour persis sama dengan interaksi sosial dan lalu lintas
informasi yang terjadi di warung-warung kopi yang ada di Aceh. Demikian
juga dengan topik pembicaraan para peminum kopi di ruang publik,
warung kopi, berkisar pada masalah kehidupan sosial, politik, sepakbola
dan ajang berbagi pengalaman dibidang usaha dagang serta pertanian.
Pastinya, animo pengunjung warung kopi tidak mutlak
disebabkan oleh rasa dan aroma kopi yang disajikan, tetapi lebih
dipengaruhi oleh keinginan untuk berinteraksi. Buktinya, sebagian besar
warung kopi yang ada di Aceh hanya menyediakan minuman kopi berbahan
baku kopi robusta. Padahal, bagi para “penikmat” kopi sejati, mereka
pasti akan mencari warung kopi atau cafe yang menyediakan kopi arabica,
karena aroma yang tajam dan rasanya yang “nendang.”
Fenomena ini makin mempertegas makna ngopi dalam tradisi masyarakat di Aceh. Ngopi
atau aktivitas minum kopi merupakan media interaksi antar masyarakat
dari berbagai stratifikasi sosial. Di ruang publik ini berkumpul
masyarakat dari kelompok stratifikasi sosial terendah, sampai yang
tertinggi. Dari seorang tukang beca sampai seorang gubernur. Mereka
berkumpul diantara meja dan kursi, mendengar dan berbicara sambil
menghirup kopi.
Kondisi ini mempertegas bahwa fungsi warung kopi
mulai bergeser, dari sebuah tempat minum kopi menjadi ruang publik.
Ruang yang menjadi milik semua elemen masyarakat. Ruang yang memberi
kebebasan bagi mereka untuk cangpanah, bercengkrama,
termasuk melepas lelah (wahana hiburan). Secangkir kopi menjadi semacam
e-mail dan password untuk izin menikmati suasana dan ikut berinteraksi
dengan orang lain yang sedang berada di warung kopi, ruang publik itu.
Ibarat akun “jejaring sosial” twitter, warung kopi
membolehkan siapapun mem-follow (bergabung dan mengikuti) orang yang
menjadi idola dan narasumbernya. Siapapun -apalagi jika sudah kenal–
boleh nimbrung mendengar dan mengomentari pembicaraan si
narasumber selama cangkirnya masih berisi kopi. Siapapun tidak dilarang
untuk membayar harga kopi orang yang di-follow atau yang mem-follownya.
Warung kopi pada akhirnya menjadi ruang publik
multifungsi. Tempat minum kopi yang sejatinya berfungsi sebagai rumah
aspirasi. Dari ruang itu berbagai informasi, baik rumor, fakta dan data
terus ter-update. Informasi itu bergulir bagai bola salju,
menggelinding dan makin membesar sampai akhirnya menjadi konsumsi
publik. Di tempat ini pula informasi itu akhirnya kembali dalam bentuk
feedback (umpan balik) yang biasanya dibumbui dengan komentar miring.
Mereka yang memahami fungsi warung kopi sebagai
rumah aspirasi, selalu hadir di ruang publik ini. Mereka akan bergabung
dengan orang-orang yang menjadi sumber informasi. Berkomentar dengan
bahasa “rakyat” yang penuh canda agar tidak ada jarak antar
stratifikasi. Ngopi yukkk…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar