Rabu, 10 Desember 2014

Warkop, Ruang Pertemuan Antar Stratifikasi

Warung kopi tradisional di Takengon
Di Aceh, tradisi minum kopi, makan yang dilanjutkan dengan ngobrol di warung kopi, bukanlah sebuah kebiasaan baru yang muncul akhir-akhir ini. Kebiasaan itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, terutama di kawasan pelabuhan dan pusat perdagangan. Meski pada saat itu sangat mungkin minumannya bukan kopi, tetapi kebiasaan nongkrong dan ngobrol utk “membunuh” waktu sudah berlangsung turun temurun.

Lombard (2008:76) menulis bahwa Peter Mundy pada April 1637 dengan susah payah berhasil mencapai tempat berlabuh di Aceh. Peter Mundy memberitakan bahwa ada yang menjual telur penyu rebus. Warung-warung mereka masing-masing dipungut bea sekeping emas sebulan untuk orang kaya Sri Maharaja.

Untuk sementara, catatan Peter Mundy pada April 1637 itu setidak-tidaknya bisa dijadikan dasar keberadaan sebuah ruang publik yang dikenal dengan warung (rumah makan) di wilayah Aceh. Catatan ini boleh jadi telah “mematahkan” sejumlah asumsi yang menyatakan keberadaan dan kebiasaan makan minum di warung muncul setelah Belanda “mengajarkan” tradisi minum kopi.

Memang, dan diakui bahwa Belanda mempunyai peran penting dalam membudidayakan tanaman kopi di Indonesia. Mereka telah memperkenalkan tanaman Kopi Arabika (coffea arabica L.) di Pulau Jawa pada tahun 1699. Di Aceh, tepatnya di Dataran Tinggi Gayo Aceh Tengah, mereka mulai membangun perkebunan Kopi Arabika pada tahun 1924 di daerah Paya Tumpi. Kini, Dataran Tinggi Gayo yang meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah secara nasional menjadi kawasan tanaman kopi Arabika terluas di Indonesia.

Menilik keberadaan dan fungsi warung kopi di Aceh, pada prinsipnya tidak berbeda jauh dengan fungsi lapau di Sumatera Barat. Menurut Pandoe dan Pour (2010:256) bahwa fungsi lapau menjadi pusat informasi. Sesama pengunjung lapau mengobrol soal macam-macam hal, mulai kehidupan sosial sampai “politik tinggi” dalam dan luar negeri. Bisa juga mempergunjingkan para pejabat, menganalisis sepakbola, atau membicarakan sinetron yang mereka tonton di televisi.

Interaksi manusia di lapau seperti yang ditulis Pandoe dan Pour persis sama dengan interaksi sosial dan lalu lintas informasi yang terjadi di warung-warung kopi yang ada di Aceh. Demikian juga dengan topik pembicaraan para peminum kopi di ruang publik, warung kopi, berkisar pada masalah kehidupan sosial, politik, sepakbola dan ajang berbagi pengalaman dibidang usaha dagang serta pertanian.

Pastinya, animo pengunjung warung kopi tidak mutlak disebabkan oleh rasa dan aroma kopi yang disajikan, tetapi lebih dipengaruhi oleh keinginan untuk berinteraksi. Buktinya, sebagian besar warung kopi yang ada di Aceh hanya menyediakan minuman kopi berbahan baku kopi robusta. Padahal, bagi para “penikmat” kopi sejati, mereka pasti akan mencari warung kopi atau cafe yang menyediakan kopi arabica, karena aroma yang tajam dan rasanya yang “nendang.”

Fenomena ini makin mempertegas makna ngopi dalam tradisi masyarakat di Aceh. Ngopi atau aktivitas minum kopi merupakan media interaksi antar masyarakat dari berbagai stratifikasi sosial. Di ruang publik ini berkumpul masyarakat dari kelompok stratifikasi sosial terendah, sampai yang tertinggi. Dari seorang tukang beca sampai seorang gubernur. Mereka berkumpul diantara meja dan kursi, mendengar dan berbicara sambil menghirup kopi.

Kondisi ini mempertegas bahwa fungsi warung kopi mulai bergeser, dari sebuah tempat minum kopi menjadi ruang publik. Ruang yang menjadi milik semua elemen masyarakat. Ruang yang memberi kebebasan bagi mereka untuk cangpanah, bercengkrama, termasuk melepas lelah (wahana hiburan). Secangkir kopi menjadi semacam e-mail dan password untuk izin menikmati suasana dan ikut berinteraksi dengan orang lain yang sedang berada di warung kopi, ruang publik itu.

Ibarat akun “jejaring sosial” twitter, warung kopi membolehkan siapapun mem-follow (bergabung dan mengikuti) orang yang menjadi idola dan narasumbernya. Siapapun -apalagi jika sudah kenal– boleh nimbrung mendengar dan mengomentari pembicaraan si narasumber selama cangkirnya masih berisi kopi. Siapapun tidak dilarang untuk membayar harga kopi orang yang di-follow atau yang mem-follownya.

Warung kopi pada akhirnya menjadi ruang publik multifungsi. Tempat minum kopi yang sejatinya berfungsi sebagai rumah aspirasi. Dari ruang itu berbagai informasi, baik rumor, fakta dan data terus ter-update. Informasi itu bergulir bagai bola salju, menggelinding dan makin membesar sampai akhirnya menjadi konsumsi publik. Di tempat ini pula informasi itu akhirnya kembali dalam bentuk feedback (umpan balik) yang biasanya dibumbui dengan komentar miring.

Mereka yang memahami fungsi warung kopi sebagai rumah aspirasi, selalu hadir di ruang publik ini. Mereka akan bergabung dengan orang-orang yang menjadi sumber informasi. Berkomentar dengan bahasa “rakyat” yang penuh canda agar tidak ada jarak antar stratifikasi. Ngopi yukkk…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar